![]() |
Penulis, Teodorikus Hanpalam. (Foto : dok/ist) |
SMSNEWS.id | Jakarta - Pertama mungkin kita bertanya-tanya siapakah Gibran ini? Apakah politisi dari antah berantah. Mari kita telusuri jejak politik Gibran dari sudut pandang kolusi dan nepotisme.
Gibran adalah orang sakti tanpa aji aji di panggung politik nasional. Karier politiknya dimulai ketika Bapaknya, Presiden Jokowi masuk periode kedua kepemimpinan Nasional.
Gibran awalnya hanya dikenal anak yang polos dan culun serta irit bicara. Hal itu tampak ketika Pak Jokowi memperkenalkan keluarganya di depan wartawan usai terpilih pertama kali menjadi Presiden ke-7 RI tahun 2014.
Pada momen pelantikannya sang Presiden memperkenalkan keluarganya di hadapan media dan pada Giliran Mas Gibran, ia tampak lebih banyak mengumbar senyum "tanggung" khasnya serta irit bicara dan Ia sempat celetukan dengan nada menyindir orang yang menyebut dia "anak haram" karena pada saat kampanye Bapaknya, dirinya tidak pernah ikut dan tampil di publik.
Saat itu, ia juga tampak berpakaian batik dan terlihat sederhana tanpa jas mewah. Gibran kemudian menjadi pembicaraan publik karena jarang sekali anak pejabat apalagi sekelas anak Presiden punya penampilan yang sederhana dan apa adanya seperti itu.
Saya sampai terharu ketika mengulang ulang menonton video tersebut. Gila, ini anak Presiden tetapi penampilan kayak anak Lurah. Mungkin saya dan banyak kalangan juga ikut terpukau dengan sosok Gibran ini.
Semenjak saat itu saya tertarik mengikuti Kiprah Mas Gibran, saat tampil di acara Mata Najwa, Gibran ini mendapat sorak sorai dari audiens karena ia mampu menjawab pertanyaan Nadjwa Sihab dengan ceplas ceplos dan terkesan apa adanya.
Pedagang Markobar itu banyak mengundang galak tawa para penonton di studio, apalagi pada saat topik yang ditanya Mbak Nana terkait sosok adiknya Kaesang Ketua Umum PSI saat ini.
Saya juga ikut terbahak-bahak karena jarang sekali saya nonton anak Presiden berbicara dengan gaya "pasaran" saat tampil di acara publik. Gibran kala itu benar-benar menurut banyak kalangan sebagai contoh dan suri tauladan bagi anak pejabat yang suka flexing dan kebanyakan gaya.
Awal Gibran Merintis Karier Politik
Pada saat periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, Bapaknya Gibran, kerap kali orang-orang menyebut ia akan menjadi suksesor Jokowi 15 hingga 20 tahun mendatang. Maklum syarat menjadi Calon Presiden itu usia minimal 40 tahun dan syarat usia Calon Wakil Presiden waktu itu usia minimal 40 tahun.
Banyak juga pengamat dari kelas teri, kelas nasional hingga kelas pengamat transaksional yang memprediksi hal yang sama. Pada beberapa waktu ketika ditanya oleh wartawan apakah Mas Gibran tertarik terjun ke dunia politik mengikuti jejak Bapaknya, ia kerap kali mengelak sama seperti jawaban adiknya Mas Kaesang Ketum PSI itu. Mereka berdalih lebih fokus urus bisnis dan usaha mereka masing-masing. Maklum Mas Gibran ini pengusaha Markobar dan Mas Kaesang pengusaha pisang goreng.
Bidang usaha yang mereka tekuni adalah bidang usaha yang sangat jauh dari kelas politik APBN yang banyak mengurus proyek besar seperti tambang, migas dan sektor lain yang uangnya gede. Mereka juga tidak mau terlibat proyek infrastruktur yang sedang menjadi program Jokowi dengan anggaran fantastis itu.
Masyarakat Indonesia tentu penuh decak kagun dengan Pak Jokowi karena dianggap berhasil mendidik anaknya untuk tidak cawe cawe dan memanfaatkan kekuasaan Bapaknya untuk mendulang keuntungan.
Seiring berjalannya waktu, pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, Bapaknya Mas Gibran, banyak pihak terkejut dan kembali meninjau sudut pandang tentang Gibran. Ia yang dulunya selalu mengelak dan mengaku tidak tertarik terjun ke dunia politik tiba-tiba menyatakan diri untuk maju sebagai Calon Wali Kota Solo, kampungnya Presiden Jokowi.
Setelah menyatakan diri maju, Gibran datangi kantor DPC PDIP Solo untuk menyerahkan berkas pendaftaran Wali Kota, namun saat itu, pendaftaran sudah ditutup. PDIP Solo kala itu sebetulnya sudah punya kader senior yaitu Ahmad Purnomo Wakil Wali Kota aktif, pasangan dari Wali Kota Solo yang sudah 2 periode F.X. Rudyatmo yang tidak lain adalah Ketua DPC PDIP Solo.
Ahmad Purnomo kemudian digadang-gadang akan menjadi suksesor dari Wali Kota F.X. Rudy. Di berbagai sudut Kota saya melihat banyak sekali baliho Pak Purnomo ini, ia menggandeng kader senior PDIP lainnya yaitu Teguh Prakoso dalam pilwako Solo 2020.
Lanskap politik Solo kala itu berbeda, PDIP yang menjadi Partai Penguasa, baik di legislatif maupun ekskutif, mereka bisa mengusung kadernya tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Dibeberapa pilwako sebelumnya, siapapun yang diusung PDIP, pasti dilantik. Pasangan Pramono-Teguh ini tentu didukung oleh seluruh para kader, karena PDIP Solo dikenal dengan kader yang solid dan militan.
Wacana majunya Gibran kemudian ditentang oleh banyak kader termasuk Ketua DPC PDIP Solo, F.X. Rudy, karena menurutnya, Gibran belum cukup pengalaman baik di dalam kepengurusan PDIP maupun belum ada pengalaman politik.
Terjadi dinamika yang luar biasa di PDIP, karena waktu itu wacananya, Gibran ini dipaksakan maju oleh Jokowi, sementara F.X. Rudy, dialah yang menduetkan Purnomo-Teguh ini untuk disiapkan menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo.
Cerita kemudian berubah, saat Gibran yang sebelumnya ditolak berkasnya karena jadwal pendaftaran Cawali di PDIP Solo sudah tutup, ia kemudian terbang ke Jakarta untuk menemui Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Kedatangan Gibran ke Jakarta disinyalir oleh lobi Jokowi kepada Megawati. Megawati yang kala itu dikenal menghormati Jokowi kadernya yang menjabat Presiden kemudian memberikan rekomendasi kepada Gibran untuk maju Wali Kota Solo.
Ahmad Purnomo harus menelan pil pahit dengan hasil rekomendasi tersebut, Iapun mengundurkan diri dari Bakal Calon Wali Kota Solo, Balon Wakilnya Teguh Prakosa kelak tetap maju berpasangan dengan Mas Gibran kala itu dengan akronim "Gibran Teguh". Pasangan inipun menang telak, seperti yang saya tulis diawal, siapapun yang di usung PDIP di Solo pasti menang telak.
Gibran Teguh pun sah menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo periode 2020-2025 setelah ditetapkan KPU Solo dengan persentasi suara 86.5 % mengalahkan rivalnya BAJO yang saat itu mendeklarasikan maju calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota menit-menit akhir menjelang penutupan pendaftaran oleh KPU.
Menjadi Wali Kota Solo dan Blusukan Pejabat Tinggi Jakarta
Selama menjabat Wali Kota Solo, Gibran dinilai sukses membangun Kota Solo, banyak proyek dari pusat mengalir deras ke Solo. Kisah sukses dan banyaknya proyek dari pusat ini sangat wajar karena toh yang menjabat Presiden kala itu adalah Bapaknya Mas Gibran sendiri.
Tidak sampai disitu, terlihat banyak sekali menteri dan kelas pejabat Jakarta yang datang menemui Gibran di Solo, mulai dari kelas Menteri Kabinet Indonesia Maju maupun pengusaha nasional sekelas Dato Sri Tohir, Bos Mayapada, Boy Tohir, Harry Tanoe dan banyak lagi, itu diterima Gibran secara resmi sebagai Wali Kota, belum lagi yang kunjungan tidak resmi, hampir setiap minggu, saat saya masih kuliah di Universitas Sebelas Maret Solo, saya sering berkeliling sekedar mengunjungi saudara sering mendengar suara Sirene dan melihat Strobo serta iring-iringan mobil baik yang arah dari atau ke Solo.
Dalam pertemuan di warung kopi, saya sering mengobrol dengan Bapak-bapak dan mereka juga mengakui bahwa memang mereka sering melihat iring iringan mobil yang datang ke Solo untuk temui Gibran. Kedatangan mereka ke Solo menemui Gibran tentu saja bukan untuk sekedar ngopi dan "ngalor ngidul ngetan ngulon" namun punya tujuan, baik untuk lobi proyek, maupun untuk tujuan yang lain. Intinya tidak ada makan siang gratis dalam politik.
Santer kabar, banyak menteri dari Partai yang "tidak disukai" Jokowi kala itu sering datang bertemu Gibran untuk "cari muka" kepada Presiden Jokowi.
Ini memang lumrah dalam politik Indonesia, yang penting mereka hadir membawa ole-ole baik untk Gibran sendiri maupun untuk warga Solo.
Bagi warga Solo, Gibran sangat populer terutama kebijakannya terkait upacara keagamaan seperti hari besar agama Islam, Hindu, Budha Konghucu serta hari besar umat Kristiani baik Katolik maupun Protestan. Gibran membuka halaman Balaikota untuk dijadikan tempat menampilkan simbol-simbol keagamaan yang resmi di Solo.
Di depan kantor Balai Kota saat hari besar upacara keagamaan terlihat ornamen ornamen indah, apalagi kalau pada malam hari, lampu kelap kelipnya memanjakan mata bagi setiap orang yang melewati jalan tersebut. Pemerintah Kota menyebut bahwa kebijakan tersebut merupakan upaya merawat toleransi beragam di Solo. Solo itu memang dikenal dengan warga yang ramah dan toleransi beragama sangat tinggi sejak dulu, layak dengan julukannya "Spirit of Java".
Kebijakan itulah yang dinilai para pendukung Gibran menjadi salah satu modal politik yang menjadi ukuran kesuksesan Gibran saat menjadi Walikota Solo untuk kemudian bisa lanjut mencalonkan diri untuk periode kedua Wali Kota maupun menuju Calon Gubernur Jawa Tengah di masa depan. Kalkulasi para pendukungnya ternyata salah, Gibran tidak maju untuk periode kedua Walikota Solo maupun Gubernur Jawa Tengah, atau di DKI Jakarta mengikuti jejak Bapaknya Presiden Jokowi.
Diluar harapan pendukungnya khusunya akar rumput dikejutkan saat Gibran melenting mencalonkan diri dan ikut kontestasi Pilpres yang berpasangan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, bawahan Bapaknya Presiden Jokowi dalam ajang pilpres 2024.
Wapres Gibran dan Zig Zag Presiden Jokowi
Setelah menjabat 3 tahun, Gibran mengundurkan diri dari Wali Kota Solo pasca hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang awalnya syarat usia Calon Presiden dan Wakil Presiden minimal 40 tahun kemudian dirubah menjadi 40 tahun dan atau pernah menjabat Kepala Daerah tentu menjadi landasan Konstitusional bagi Gibran untuk langgeng menuju konstelasi Pilpres 2024. Hasil keputusan tersebut, Gibran saat itu tentu secara konstitusi berhak untuk mengikuti kontestasi Pilpres.
Namun hasil Putusan MK tersebut menuai gelombang protes dari banyak pihak. Ada yang memilih protes di jalanan dan mendesak Mahkamah Konstitusi untuk mencabut Putusan tersebut, ada pula yang melalui koridor hukum dan meminta putusan itu ditinjau kembali karena dinilai syarat politis dan intervensi kekuasaan, maklum saat itu Ketua Mahkamah Konstitusi dijabat oleh Anwar Usman yang tak lain adalah Paman Gibran sendiri dan Ipar Presiden Jokowi.
Masyarakat Indonesia waktu itu terbelah, para intelektual dan akademisi memberikan pernyataan sikap, sebut saja Dewan Guru Besar UGM dan juga Dewan Guru Besar di beberapa kampus Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Namun protes tersebut tidak membuahkan hasil setalah KPU tetap menetapkan Prabowo-Gibran (PRAGIB) sah begitu juga kandidat lain Ganjar-Mahfud (GAMA) dan Anies-Muhaimin (AMIN), ketiga pasangan tersebut dinyatakan memenuhi syarat sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden pada 13 November 2023.
Menariknya, kala itu Gibran masih menjadi kader PDIP, artinya secara kepartaian PDIP memiliki 2 kandidat yang bersaing dalam Pilpres, itu merupakan kali pertama Partai yang terkenal solid itu pecah berkubu-kubu.
Yang pertama adalah kubu Megawati yang mendukung Ganjar Pranowo, ia diusung secara resmi oleh Partai berlambang Banteng itu, yang kedua ialah Kubu Jokowi yang mendukung Gibran anak sulungnya berpasangan dengan Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra.
Internal PDIP pecah, kader kader pun ada yang mengundurkan diri dari PDIP seperti Maruarar Sirait, Budiman Sudjatmiko dan kader lainnya karena mereka tidak mendukung kader yang diusung PDIP Ganjar dan beralih dukungan ke Prabowo-Gibran.
Megawati tentu geram dengan Jokowi karena ia tidak tunduk pada keputusan Partai, langkah Jokowi dinilai mengkhianati partai yang membesarkan dia dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI hingga menjadi Presiden RI selama 2 periode, dan memberi karpet merah untuk Gibran menjadi Wali Kota Solo.
Pada Kontestasi Pilpres 2024 Prabowo Gibran menang meyakinkan, KPU menetapkan pasangan Prabowo Gibran sah menjadi pemenang pemilu dan menjadi Presiden-Wakil Presiden periode 2024-2029 dengan memperoleh 58,6% jauh saingannya Ganjar Mahfud yang hanya memperoleh 16,5% dan Anies Muhaimin 24,9%. Kemenangan telak Prabowo-Gibran yang juga didukung koalisi Gemuk KIM-Plus tersebut dinilai karena cawe cawe Presiden Jokowi, berbagai tuduhan pun dialamatkan kepadanya yaitu yaitu dugaan penyalahgunaan kekuasaan, politisi bansos, pengerahan aparat negara, serta pembegalan konstitusi.
Beragam Tantangan Rezim Prabowo-Gibran
Pasca ditetapkan oleh KPU, Prabowo-Gibran pun dilantik melalui Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2024 dan secara resmi, Indonesia memiliki Presiden dan Wakil Presiden.
Menjelang setahun kepemimpin Prabowo-Gibran banyak tantangan yang dihadapi, diantaranya adalah merealisasikan janji kampanye mereka soal Makan Siang Gratis, belum lagi soal Menghilangkan kemiskinan dan program-program lain yang dinilai bombastis.
Bank Dunia mencatat, pada april 2025, sebanyak 60,3% atau setara 171,8 juta masyarakat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan, tingkat pengangguran yang tinggi, hengkangnya perusahan-perusahan keluar negeri, tercatat oleh Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) sejak awal tahun 73 ribu lebih pekerja di PHK, belum lagi masalah korupsi di berbagai lembaga, 1 lembaga di 1 BUMN saja kerugian negara ditaksirkan hingga 1000 (Seribu) Triliun, belum lagi soal inflasi, nilai tukar rupiah yang melemah, pajak yang tinggi, dan dampak penetapan tarif resiprokal ke produk ekspor Indonesia sebesar 37% oleh Amerika Serikat harga- harga barang makin mahal, itu baru tantangan ekonomi, belum tantangan keamanan, sosial dan politik.
Capek saya tulisnya, saya menulis masalah-masalah ini dengan jari hampir kaku dan hati penuh empati.
Sungguh sangat kompleks, ini butuh kerja keras dan kerja nyata yang cepat dan segera, ini harus disadari oleh Prabowo dan Gibran beserta para menteri pembantu pembantunya untuk tidak bermanuver sana sini, tetapi fokus urus negara dan rakyat yang sengsara. Saya tidak punya kekuasaan, Prabowo-Gibran lah yang punya kekuasaan.
Teodorikus Hanpalam
Catatan Pinggiran
Jakarta, 20/05/25