![]() |
Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist) |
Oleh: Jamaluddin Lobang (Wakil Ketua BEM UNRIKA)
SMSNEWS.id | Batam - Pendidikan bukanlah ruang kosong yang bisa diisi sesuka hati. Ia bukan tempat mencetak manusia menjadi robot patuh, melainkan proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah alat pembebasan, bukan penindasan. Dalam semangat itu, setiap kebijakan pendidikan harus dijaga agar tidak menjadi alat kekuasaan yang membungkam daya kritis.
Belakangan ini, sorotan publik tengah tertuju pada rancangan Undang-Undang TNI yang menuai kontroversi luas. Aksi demonstrasi mahasiswa menggema di berbagai sudut kota dengan Tagline “Indonesia Gelap”. Mereka tidak hanya menolak RUU TNI, tetapi juga merespons meningkatnya kekerasan negara terhadap rakyat. Ironisnya, respons negara bukan dialog, tapi represif. Darah mahasiswa kembali tumpah, tulang mereka patah, dan kebebasan berbicara kembali dicekik oleh penguasa.
Di tengah situasi itu, kebijakan kontroversi datang dari Jawa Barat yang memperparah kekhawatiran publik. Dedi Mulyadi, berencana mengirim anak-anak yang dianggap “nakal” ke barak militer. Ini bukan hanya kebijakan yang aneh, tapi juga berbahaya. Alih-alih menggunakan pendekatan pendidikan dan psikologi anak, Dedi memilih jalan pintas: militerisasi anak.
Dalam pidatonya saat perayaan HUT ke-26 Kota Depok, Dedi menyebut anak-anak yang melawan orang tua, suka balap liar, dan enggan sekolah akan dikirim ke barak TNI. Ia berdalih bahwa pendekatan militer akan menanamkan disiplin dan karakter. Namun, benarkah cara itu efektif? Apakah tentara adalah pendidik yang tepat untuk anak-anak sipil?
Ketika negara mulai menyerahkan urusan pendidikan kepada militer, kita patut curiga: apakah negara sedang kehilangan cara mendidik? Kenakalan anak bukanlah kejahatan besar. Ia adalah bentuk ekspresi yang bisa diarahkan, bukan dimatikan. Negara yang sehat adalah negara yang hadir membina, bukan menghukum apalagi mematikan ekspresi.
Masalahnya bukan pada anak-anak itu, melainkan pada sistem yang gagal memahami mereka. Sekolah kehilangan fungsinya sebagai tempat tumbuh, dan keluarga tak lagi menjadi ruang aman. Dalam kondisi seperti itu, mengirim anak-anak ke barak hanya akan memperparah luka. Barak bukan ruang pendidikan. Ia adalah tempat pelatihan perang.
Jika memang anak-anak melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka hukum pidana anak bisa ditempuh. Itupun dengan pendekatan yang sesuai dengan prinsip keadilan restoratif. Tapi ketika anak hanya dianggap “nakal”, lalu dilempar ke institusi militer, itu adalah bentuk kekerasan sistematis terhadap generasi muda.
Yang Dilakukan Dedi Mulyadi Lebih Mirip Hukuman, Bukan Pendidikan
Program ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah gagal melihat esensi pendidikan. Seolah-olah pendidikan sebatas disiplin dan ketaatan. Padahal, pendidikan adalah tentang berpikir, berdialog, dan tumbuh. Jika setiap penyimpangan diamputasi dengan militer, maka pendidikan akan menjadi tempat penindasan massal.
Lebih jauh, pendidikan yang bercita rasa militer akan membentuk manusia-manusia yang patuh tanpa berpikir. Mereka akan terbiasa menjawab “Siap komandan!” tanpa pernah bertanya, “Mengapa saya harus patuh?” Ini adalah bentuk pemiskinan intelektual yang akan menghancurkan masa depan bangsa.
Kehadiran tentara di ruang pendidikan bukan hal baru. Kita telah melihat bagaimana narasi bela negara dan nasionalisme militer terus dipaksakan di berbagai lini. Kini, dengan program Dedi Mulyadi, militer benar-benar masuk ke jantung pendidikan sipil.
Nasionalisme Ala Soekarno Bukan Membunuh
Brigjen Wahyu Yudhayana dari TNI AD membenarkan bahwa program ini memang dirancang untuk pembinaan anak-anak nakal. Dalam laporan Tempo.co, ia menyebut program ini sebagai Pendidikan Karakter dan Bela Negara Kekhususan. Materinya meliputi baris-berbaris, penyuluhan, dan wawasan kebangsaan.
Namun, apakah semua itu tak bisa diberikan oleh guru, konselor, atau tokoh masyarakat dan psikolog anak? Mengapa harus tentara? Apakah karena tentara dianggap lebih “ditakuti”? Jika demikian, ini bukan pendidikan—ini adalah intimidasi yang dilegalkan.
Salah satu bagian paling mengkhawatirkan adalah masuknya doktrin nasionalisme militer ke dalam pikiran anak-anak. Nasionalisme versi tentara dibentuk oleh pengalaman perang: membunuh atau dibunuh. Ini adalah nasionalisme yang tidak memberi ruang pada kemanusiaan dan dialog. Ia keras, absolut, dan mematikan nalar kritis.
Saya pernah mengikuti pelatihan nasionalisme yang diadakan GMNI pada 2023 di Karimun, Kepulauan Riau. Di sana dijelaskan perbedaan antara nasionalisme Soekarno dan militer. Soekarno mengajarkan sosionasionalisme—nasionalisme yang berpijak pada kemanusiaan, bukan kekerasan. Ia menolak kekuasaan absolut dan selalu menyelesaikan konflik dengan musyawarah.
Mukhamad Misbakhun, anggota DPR RI, juga pernah menegaskan bahwa tentara memang dididik untuk membunuh. Pernyataan itu dimuat oleh JPNN.com - jelas tentara bukan tempat yang tepat untuk mendidik anak-anak sipil.
Pendidikan yang sehat harusnya mendorong siswa bertanya, bukan hanya menjawab. Pendidikan harus membuat siswa berani berpikir, bukan sekadar mengikuti. Jika anak-anak dididik hanya untuk menurut, maka kita sedang menciptakan generasi yang tidak bisa memperjuangkan kebenaran.
Sabda Tan Malaka dan Tuturan Paulo Freire Terhadap Pendidikan
Dalam pandangan Tan Malaka, pendidikan adalah alat perjuangan kelas. Ia bukan sekadar proses transfer ilmu, tapi pembentukan kesadaran. Tan menolak pendidikan yang meninabobokan rakyat. Ia ingin pendidikan yang mengguncang, yang membebaskan pikiran.
Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil, juga mengecam sistem pendidikan gaya bank. Ia menyebut pendidikan harus dialogis dan transformatif. Pendidikan harus menjadi proses membebaskan, bukan menindas. Pendidikan yang menyuruh anak-anak “diam dan patuh” bukanlah pendidikan. Itu penjara.
Rocky Gerung pernah mengatakan, “Berpikir itu ketika pikiranmu diganggu.” Pendidikan yang tidak bertengkar gagasan adalah pendidikan yang mati. Jika anak-anak hanya diajarkan untuk menurut, maka mereka tak akan pernah tahu caranya melawan ketidakadilan.
Kekuasaan selalu ingin mempertahankan status quo. Salah satu caranya adalah dengan menciptakan pendidikan yang membentuk manusia tunduk. Ketika pendidikan bersekutu dengan militer, maka yang lahir adalah generasi penurut—bukan pembaharu.
Pendidikan harus dibebaskan dari bayang-bayang kekuasaan militer. Jika tidak, maka sekolah akan menjadi ladang doktrinasi. Anak-anak akan kehilangan hak untuk berpikir bebas. Dan bangsa ini akan kehilangan masa depan kritisnya.
Kita tidak butuh pendidikan yang melahirkan pasukan. Kita butuh pendidikan yang melahirkan manusia. Bukan manusia yang siap baris, tapi manusia yang siap berdialog. Bukan manusia yang siap hormat, tapi manusia yang siap menggugat.
Anak-anak bukan tentara. Mereka adalah calon-calon pemikir, seniman, penyair, ilmuwan, dan pemimpin. Mereka tidak boleh dipaksa untuk menjadi “anak baik” versi militer. Mereka harus dididik untuk menjadi manusia bebas.
Sekolah bukan barak. Guru bukan komandan. Pendidikan bukan pelatihan. Pendidikan adalah ruang tumbuh. Dan tugas kita adalah menjaganya tetap menjadi ruang pembebasan, Demi masa depan kita yang merdeka.