![]() |
Pramono Anung (atas kiri), logo PDIP (atas kanan), dan Prabowo saat bersama Jokowi dalam sebuah pertemuan beberapa waktu lalu (bawah). (Foto : dok/ist) |
Oleh: Teodorikus Hanpalam (Dosen Universitas PGRI Delta Sidoarjo dan Mahasiswa Akhir S3 Sejarah, Universitas Diponegoro, Semarang)
SMSNEWS.id | Jakarta - Kerja dalam diam, tidak banyak muncul di berita. Padahal Ia pemimpin salah satu Provinsi pusat ekonomi, politik dan pusat segala-galanya di DKI Jakarta. Ditengah riak-riak wacana Pemakzulan Gibran dan melemahnya pengaruh Prabowo dalam kabinetnya. Ada sosok Pramono Anung yang tidak bergumam dan tidak populis namun menjadi lawan yang "berbahaya" bagi Prabowo Gibran di 2029.
![]() |
Teodorikus Hanpalam (Dosen Universitas PGRI Delta Sidoarjo dan Mahasiswa Akhir S3 Sejarah, Universitas Diponegoro, Semarang). (Foto : dok/ist) |
Rendahnya elektabilitas Puan dalam kontestasi pemilu 2024 kemarin dapat dibaca bahwa truh Megawati akan sulit bersaing di 2029. Bagaimana tidak, Puan saat itu berstatus sebagai Ketua DPR dan PDIP-nya sebagai partai penguasa tentu Puan lebih mudah mengkonsolidasi kekuatan untuk menopang Dia melalu menteri PDIP yang berjumlah 5 orang itu, terutama menteri sosial Tri Risma Harini. Wali Kota yang terbaik di Indonesia pada masanya.
Puan bisa saja melalui instrumen itu bisa "menyuap" rakyat dengan bansosnya untuk mencari simpati publik. Namun uniknya hal itu tidak dilakukan Puan terhadap kadernya Tri Risma Harini, justeru akhirnya peluang itu dibajak oleh Jokowi dengan turun langsung untuk membagi bansos sebelum Pilpres. Bahkan kerap kali Risma tidak diajak karena dianggap berbeda haluan dengan tujuan politik Jokowi untuk meloloskan anak sulungnya ke kursi Wapres hasil pembegalan terhadap Mahkamah Konstitusi itu.
Kembali ke Puan, Ia dan PDIP kehilangan momentum untuk mengkapitalisasi kekuasaan mereka demi mendapatkan suara dan simpati rakyat. Dari berbagai lembaga survei, saat itu sejak namanya disebut sebut akan diusung PDIP elektabilitas Puan justeru semakin landai.
Gerakan perlawanan dari lingkaran dalam PDIP yang masih berpikir ideologis dan kritis sangat kuat untuk menggantikan Puan dengan Ganjar Pranowo. Semenjak namanya muncul, awalnya popularitas dan elektabilitas Ganjar terus naik dan butterfly efek, PDIP banyak mendapatkan simpati karena dianggap mengorbankan Trah Sukarno demi Trah Rakyat.
Seiring berjalannya waktu, elektabilitas Ganjar mulai turun tajam ketika dia secara terang-terangnya menolak Timnas Israel u 20 untuk bertanding di Piala Dunia yang Indonesia saat itu ditunjuk Fifa menjadi tuan rumah.
Ini masalah sepele, namun Ganjar berdalih bahwa penentangan Timnas Israel berlaga di Indonesia dikarenakan sesuai dengan UUD 1945 yang diinterpretasikan bahwa Israel sebagai penjajah terhadap Palestina. Tetapi Ganjar lupa bahwa, masyarakat kita lebih gila Bola dibawah asuhan Shin Thae Yong daripada gila Politik dibawah asuhan Jokowi.
Ganjar pun kalah telak di pilpres 2024 yang lalu. Sejak saat itu, PDIP mungkin dapat mengambil pelajaran bahwa rakyat berpikir tentang apa yang mereka sukai, bukan apa yang mereka butuhkan. Itu harus dapat dibaca PDIP menjelang 2029 nanti.
Pramono dalam Pusaran Kekuasaan Jokowi-Prabowo
Kembali ke Pramono, saat ia diumumkan resmi menjadi calon gubernur DKI Jakarta oleh PDIP, Pramono tidak euforia karena Ia bukan seorang politisi berapi api. Gayanya kerap kali disamakan dengan salah satu tokoh PDP, Taufik Kemas menarik perhatian publik. Dalam berbagai komunikasi publik, Pramono dipandang memiliki pendekatan berbeda dalam sikap politiknya. Ia dihormati lawan dan disegani kawan karena ia mampu berkomunikasi dengan siapa saja.
Dari berbagai informasi lingkaran sekitar PDIP, Pramono disebut tokoh yang Moderat dan berpandangan terbuka. Ia sangat ideologis namun dalam pendekatannya melalui pendekatan politik sekuler, kiri kanan tengah ia gandeng.
Sosok Pramono Anung ini juga menurut informasi merupakan otak dari Jokowi sejak ia menjadi Wali Kota Solo dan kemudian menjadi Presiden 2 periode.
Ketika di umumkan Mega sebagai calon gubernur DKI Jakarta, Pramono yang kala itu menjabat sebagai sekertaris kabinet langsung menghubungi Jokowi untuk memberitahukan tugas barunya dari PDIP.
Tentu saja Jokowi tidak bisa menolak dan tidak bisa berbuat apa-apa, kecewa itu sudah pasti, dan tentu juga risau karena Jokowi sadar Pramono adalah otaknya Dia.
Munculnya Pramono waktu itu dianggap kartu AS Mega dan PDIP untuk melawan Koalisi Gemuk Ridwan Kamil yang didukung KIM Plus yang penuh percaya diri itu. Jokowi jelas risau karena Ia tahu bahwa Pramono ini bukan orang sembarangan dan karena jasanya dialah Jokowi mampu memanajemen kabinetnya dengan cukup baik.
Keresahan itu dapat dipandang benar, beberapa kali Jokowi turun langsung dari Solo ke Jakarta untuk melakukan pertemuan dengan Ridwan Kamil.
Turunnya Jokowi tentu disadari Pramono sebagai suatu manifestasi dari kelemahan Ridwan Kamil yang selalu necis itu dan tidak punya nilai jual di Ibukota. Namun Jokowi salah langkah ia turun gunung dengan beban berat karena ia dipandang sebagai pembegal konstitusi oleh sebagain orang.
Yang didapat Ridwal Kamil adalah Jokowi effeck, namun naas efek buruknya yang didapat, dan terbukti Pramono Anung menang 1 putaran dan terpilih menjadi DKI setelah menjinakkan kekuatan yang ditopang 3 Presiden yaitu SBY, Jokowi dan Presiden Prabowo.
Sejak kemenangan itu, Pramono Anung mulai menjadi pembicaraan rakyat Indonesia, bagiamana tidak, sosok Pramono ini kerap muncul sebagai teknokrat bukan sebagai politisi. Fenomena unik ini kemudian mendapat perhatian positif dari masyarakat dan Pramono layak diperhitungkan untuk pilpres 2029 nanti.
Pramono Otak "Jokowi"
Otak kemenangan Prabowo adalah Jokowi, dan otaknya Jokowi adalah Pramono.
Dari relasi kuasa ini, kita dapat membaca, kenapa DKI Jakarta dan Pramono tidak diganggu oleh kekuatan besar yang menguasai negara ini, karena penguasa tahu, mengganggu Pramono sama dengan mencari celaka, walaupun informasi lain ada peran Mega dengan pesan tersirat agar Prabowo tidak mengganggu anak emasnya Pramono.
Lepasnya pengaruh Pramono sebagai otak Jokowi dapat dibaca publik dampaknya, Jokowi banyak ditimpa masalah, mulai dari menguatnya kembali isu pasca presiden Jokowi turun tahta mulai dari masalah dugaan korupsi, masalah bansos yang menjadi kunci kemenangan Prabowo, isu pembegalan hukum dan berbagai masalah lain yang dihadapi Jokowi termasuk tuduhan ijasah palsu.
Jokowi ternyata tidak segagah yang dipandang selama berkuasa, ketika Ia kehilangan Pramono, Jokowi seperti gelagapan ketika menghadapi masalah yang menimpa dirinya, bahkan ia kerap kali mengundang Pers ke rumahnya untuk sekedar mengklarifikasi apa saja.
Jokowi tidak se-diam dulu ketika jadi Presiden. Masalah yang begitu banyak dihadapi Jokowi memaksa dia untuk menjalankan pikirannya sendiri, terbukti semakin banyak dia berbicara, semakin banyak kesalahan yang muncul dari pernyataannya.
Jokowi kehilangan Pramono memang sebuah pukulan telak dan menyedihkan. He is Gone, selesai sudah saya. Mungkin itu kata dia dalam hatinya.