![]() |
Oleh: Nimrod Siahaan, S.Ak. (Ketua Pemuda Katolik Komisariat Daerah Provinsi Kepulauan Riau). (Foto : dok/John/ist) |
SMSNEWS.id | Batam - Tanggal 11 Juni menyimpan resonansi historis dan spiritual yang dalam. Dua peristiwa besar yang terjadi di tanggal ini, meskipun berbeda ruang dan waktu, membawa pesan yang sama kuat: bahwa perdamaian lahir dari hati yang rela terluka, namun memilih mengampuni dan mencintai.
Pada 11 Juni 1933, Paus Pius XI menegaskan kembali pentingnya devosi kepada Hati Kudus Yesus—sebuah seruan rohani di tengah dunia yang kala itu mulai diwarnai ketegangan pra-Perang Dunia II. Devosi ini bukan sekadar bentuk kesalehan pribadi, tetapi panggilan universal untuk membangun dunia yang lebih manusiawi melalui cinta, pengorbanan, dan pengampunan. Hati Kudus menjadi simbol kasih ilahi yang berdarah demi dunia yang sering tidak tahu berterima kasih.
Dua dekade kemudian, pada 11 Juni 1955, Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Perdamaian, mengakhiri ketegangan yang menyiksa sejak proklamasi kemerdekaan. Meski luka kolonialisme belum sembuh sepenuhnya, pilihan untuk berdamai menjadi langkah penting menuju kemerdekaan yang utuh—bukan hanya dari penjajahan fisik, tapi juga dari belenggu dendam dan kemarahan sejarah.
Sebagai seorang Pemuda Katolik dan sebagai warga bangsa, saya percaya bahwa kita dipanggil untuk melanjutkan warisan kasih dan damai ini. Dunia hari ini tidak kekurangan orang pintar atau berani. Tapi dunia kekurangan orang-orang yang berani mengasihi, berani mengampuni, dan berani memperjuangkan keadilan tanpa membalas kebencian dengan kebencian.
Dalam semangat itu, saya teringat kata-kata penuh hikmat dari Santa Teresa dari Kalkuta:
"Jika kita tidak memiliki damai, itu karena kita telah lupa bahwa kita saling memiliki."
Menyembuhkan Luka Sebelum Melayani
Saya juga ingin mengajak setiap orang, terutama para pelayan publik dan aktivis muda, untuk merenungi luka-luka pribadi yang belum disembuhkan. Terlalu sering kita menyaksikan konflik internal dalam organisasi atau komunitas—bukan karena perbedaan visi semata, melainkan karena ada luka batin yang tak disadari, tak diakui, dan akhirnya menumpuk menjadi penghalang komunikasi dan kerja sama.
Orang yang terluka dan belum sembuh sering kali tanpa sadar melukai orang lain. Maka, menyembuhkan diri bukan hanya tindakan pribadi, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial dan spiritual. Saat hati kita utuh, karya kita pun akan menjadi berkat. Tapi jika hati masih diselimuti dendam, iri, atau trauma, maka bahkan niat baik pun bisa membawa luka baru bagi orang lain.
Sebagai Pemuda Katolik, kita harus menjadi pelayan yang sembuh, dewasa secara batin, dan terbuka terhadap rahmat Allah. Damai tidak bisa diperjuangkan dengan hati yang gentar, apalagi getir.
Menghidupi Damai: Komitmen Nyata
Saya mengajak setiap kader, penggerak komunitas, dan seluruh anak muda Indonesia untuk menjadikan tanggal 11 Juni sebagai momen pertobatan dan pemurnian niat. Mari kita hadir bukan untuk memperbesar luka sejarah, tapi untuk mempersembahkan hati kita—yang mungkin pernah terluka—untuk menjadi jalan damai.
“Berbahagialah para pembawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9)
Semoga dari Kepri, dan dari hati orang muda yang sudah disembuhkan, lahir Indonesia yang lebih utuh: secara spiritual, sosial, dan kultural.
Oleh: Nimrod Siahaan, S.Ak. (Ketua Pemuda Katolik Komisariat Daerah Provinsi Kepulauan Riau)