Batam di Ambang Krisis Sosial: Antara Daya Tarik Industri dan Ancaman Ledakan Penduduk Batam di Ambang Krisis Sosial: Antara Daya Tarik Industri dan Ancaman Ledakan Penduduk

Batam di Ambang Krisis Sosial: Antara Daya Tarik Industri dan Ancaman Ledakan Penduduk

Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist)

SMSNEWS.id | Batam - Bayangkan, sebuah kota dengan luas daratan hanya 715 km², namun dalam tiga bulan pertama tahun 2025, hampir 20 ribu jiwa baru membanjirinya. Itulah yang terjadi di Batam, kota industri yang kian hari kian sesak. Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) mencatat bahwa 19.927 jiwa masuk ke Batam hingga awal April 2025. Ini bukan sekadar angka, tetapi cermin dari persoalan yang lebih dalam: Batam sedang menuju krisis sosial yang serius jika tidak segera diatasi dengan kebijakan yang terukur dan berkeadilan.

Kota Industri, Kota yang Kehilangan Arah

Batam adalah kota dengan identitas industri. Dengan fasilitas kawasan ekonomi khusus dan letak strategis di jalur perdagangan internasional, ia menjadi magnet investasi dan migrasi. Namun seperti dikatakan Anthony Giddens dalam The Consequences of Modernity, modernitas yang tidak diimbangi dengan kontrol sosial akan melahirkan dislokasi struktural. Hal inilah yang tengah dialami Batam. Arus masuk pendatang tanpa kendali menyebabkan ketidakseimbangan antara kapasitas kota dan kebutuhan warganya.

Menurut Batamnews (2023), sebanyak 40,6 persen penduduk Provinsi Kepulauan Riau adalah migran seumur hidup. Ini menempatkan Kepri di posisi teratas nasional dalam proporsi penduduk migran, mengungguli DKI Jakarta (30,8 persen), Kalimantan Timur (30,2 persen), bahkan Papua Barat (26,3 persen). Batam tidak hanya menjadi kota tujuan kerja, tetapi juga tempat pelarian ekonomi. Sayangnya, daya serap kerja dan sumber daya infrastruktur kota tidak tumbuh secepat ledakan penduduk.

Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist)

Lahan Menyempit, Hidup Terjepit

Data dari citra satelit Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) pada tahun 2018, menunjukkan bahwa lahan terbangun di Batam telah mencapai 360.000 hektar atau sekitar 52,08 persen dari luas wilayahnya. Padahal, pada tahun 2025, jumlah penduduknya telah menembus angka 1,29 juta jiwa (BPS 2025). Kepadatan penduduk mencapai 1.256,59 jiwa/km²—tinggi untuk kota yang minim ruang terbuka dan infrastruktur sosial yang memadai.

Laju migrasi yang tidak terkendali mempercepat krisis perumahan. Kawasan padat dan kumuh tumbuh liar tanpa perencanaan tata kota. Persediaan air bersih menjadi ancaman nyata. Batam tidak memiliki sumber air permukaan yang mencukupi dan bergantung pada waduk yang kapasitasnya stagnan. Maka, peringatan Wali Kota Batam pada 2015 tentang krisis air kini bukan lagi sekadar hipotesis.

Pengangguran dan Kemiskinan: Dua Wajah Gelap Kota

Berdasarkan data dari Disnaker Batam pada tahun 2025, sekitar 50 ribu pengangguran tercatat di kota ini, mayoritas berasal dari luar daerah. Meski tingkat pengangguran terbuka turun dari 11 persen menjadi 8 persen, angka itu tetap mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan Jakarta yang hanya sebesar 6,18 persen atau provinsi tetangga. Lebih menyakitkan lagi, Batam menjadi penyumbang terbesar jumlah penduduk miskin di Kepri—83.570 dari total 138.300 jiwa. Angka ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada Maret, 2024.

Kondisi ini mempertegas tesis Pierre Bourdieu tentang habitus dan kapital. Para migran yang masuk tanpa keterampilan atau modal sosial akan terperangkap dalam lingkaran kemiskinan struktural. Mereka tidak mampu mengakses pekerjaan formal, pendidikan layak, atau fasilitas dasar. Akibatnya, kantong-kantong kemiskinan membesar, menciptakan ketimpangan sosial yang kian menganga.

Meningkatnya Kejahatan, Melemahnya Rasa Aman

Ketimpangan sosial tak ubahnya bahan bakar bagi meningkatnya kriminalitas. Menurut BPS Kepri pada Februari 2025, terdapat 2.735 kasus kejahatan, atau setara dengan satu kejahatan setiap 3 jam 12 menit. Namun hanya 51 persen yang berhasil diselesaikan aparat. Ini bukan sekadar data kriminal, tetapi refleksi dari kegagalan sistemik: ketika pengangguran tinggi, kemiskinan meluas, dan aparat kewalahan, maka rasa aman menjadi ilusi.

Teori fungsionalisme Émile Durkheim relevan di sini. Ia menyatakan, bahwa kejahatan adalah cermin dari disfungsi sosial. Ketika norma tak lagi mampu mengatur perilaku masyarakat akibat tekanan ekonomi dan kepadatan, maka deviasi akan meningkat. Batam tengah mengalami fase itu—kekacauan sosial sebagai hasil dari lemahnya integrasi sosial dan ekonomi.

Otonomi Daerah yang Lumpuh oleh Ketidakberanian

Pemerintah Kota Batam memiliki otonomi untuk mengatur kebijakan kependudukan. Namun sayangnya, keberanian untuk bertindak tegas seakan tak pernah menjadi prioritas. Penjabat Gubernur Kepri, Agung Mulyana, sudah memberi sinyal sejak 2015 bahwa Batam bisa membatasi migrasi yang tidak produktif. Bahkan Menteri Dalam Negeri kala itu, Tjahjo Kumolo, mengakui bahwa Perda seperti yang pernah diberlakukan Batam (Perda No. 1 Tahun 2001) masih mungkin diterapkan dalam kondisi luar biasa.

Namun hari ini, kondisi yang sudah masuk kategori darurat justru tidak disikapi dengan regulasi tegas. Pemerintah kota terlalu bergantung pada narasi hak asasi tanpa menimbang hak-hak warga lokal yang terus dikorbankan. Padahal Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Ini berarti negara, khususnya pemerintah, memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin hak asasi manusia.—termasuk pemerintah daerah yang telah dijelaskan pada pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang."

Migrasi dan Keadilan Sosial: Siapa yang Dilindungi?

Seringkali migrasi dibungkus dengan jargon HAM. Namun perlu diingat, hak migrasi tidak bersifat absolut. Pasal 28J UUD 1945 menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang untuk menjamin hak orang lain dan ketertiban umum. Di sinilah pentingnya kehadiran negara: untuk menjaga keseimbangan antara hak pendatang dan hak warga lokal.

Menerapkan sistem migrasi berbasis pekerjaan dan keterampilan bukanlah diskriminasi, tetapi strategi rasional. Negara-negara seperti Singapura atau Uni Emirat Arab telah lama menerapkan model ini. Bahkan dalam teori John Rawls tentang keadilan, keadilan sosial bukan berarti menyamaratakan semua orang, tetapi memastikan bahwa kebijakan publik menguntungkan mereka yang paling rentan. Di Batam, warga lokal yang tidak lagi mampu membeli rumah atau memperoleh pekerjaan layak justru menjadi korban dari migrasi tak terkendali.

Dari Jakarta ke Batam: Jalan Menuju Repetisi Bencana

Apa yang terjadi di Jakarta—banjir, polusi, kemacetan, kriminalitas—bisa jadi akan menjadi masa depan Batam. Pemerintah hanya sibuk memperluas jalan, bukan memperkuat fondasi sosial. Kota ini terus membangun secara fisik namun mengabaikan ketahanan sosial. Banjir makin sering, air bersih makin langka, dan kualitas hidup warga makin memburuk.

Kota yang gagal mengatur arus manusia adalah kota yang gagal menata peradabannya. Tanpa perencanaan sosial, pembangunan hanyalah hiasan tanpa substansi. Batam butuh regulasi baru, butuh evaluasi ulang terhadap daya tampung dan kemampuan fiskalnya. Terutama, Batam butuh pemimpin yang berani mengatakan cukup.

Jalan ke Depan: Menata Ulang Kebijakan Migrasi

Batam perlu membentuk sistem migrasi berbasis pekerjaan dan keterampilan. Setiap pendatang baru harus dapat menunjukkan kontrak kerja atau bukti aktivitas ekonomi yang jelas. Pendataan kependudukan perlu diperketat dan diperbaharui secara berkala. Pemerintah harus berani menetapkan kuota migran berdasarkan daya tampung lingkungan dan anggaran daerah.

Selain itu, program padat karya lokal harus diperluas untuk menyerap tenaga kerja Batam asli yang terpinggirkan. Pendidikan vokasi dan pelatihan kerja perlu ditingkatkan untuk memperkuat daya saing angkatan kerja lokal. Pemerintah juga harus menyediakan hunian terjangkau, bukan hanya bagi investor atau ekspatriat, tetapi untuk warga miskin dan buruh.

Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist)

Keberanian adalah Kunci

Menyusun ulang kebijakan migrasi bukan berarti anti terhadap pendatang, tetapi bentuk tanggung jawab terhadap keadilan sosial. Pemerintah Kota Batam tidak bisa terus bersembunyi di balik dalih kebijakan pusat. Jika krisis sosial dibiarkan, maka yang terjadi adalah pelanggaran HAM terhadap warga lokal—mereka yang kehilangan pekerjaan, air bersih, tempat tinggal, bahkan rasa aman.

Batam bisa tetap menjadi kota industri yang kompetitif. Tetapi ia juga harus menjadi kota yang manusiawi. Dan itu hanya bisa terjadi jika keberanian politik mendahului kepentingan ekonomi.

Oleh : Hidayatuddin (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Putera Batam)

Lebih baru Lebih lama