Kamuflase Pendidikan: Di Balik Gemerlap Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda Kamuflase Pendidikan: Di Balik Gemerlap Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda

Kamuflase Pendidikan: Di Balik Gemerlap Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda

Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist)

SMSNEWS.id | Batam - Di tengah gegap gempita narasi perubahan yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran, dunia pendidikan kembali menjadi laboratorium kebijakan yang menimbulkan decak kagum sekaligus kecemasan. Belum genap setahun program Makan Bergizi Gratis diluncurkan—yang alih-alih menjadi solusi justru memunculkan insiden keracunan di sejumlah sekolah—pemerintah kembali menggulirkan proyek ambisius bertajuk Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda.

Diperkenalkan sebagai jawaban atas ketimpangan akses pendidikan dan ditujukan bagi Masyarakat Rentan Miskin (MRM), dua entitas pendidikan baru ini digadang-gadang mulai aktif pada pertengahan Juli, bertepatan dengan tahun ajaran baru. Dalam konferensi persnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengumumkan bahwa 65 titik pembangunan Sekolah Rakyat telah disiapkan, bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum, dengan target awal sebanyak 6.800 siswa. Potensi total penerima manfaat bisa mencapai lebih dari 10.000 siswa jika penambahan 35 titik lainnya lolos verifikasi. Sekilas, ini tampak seperti kemajuan. Namun benarkah demikian?

Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist)

Nostalgia dalam Nama: Membongkar Asal-usul Sekolah Rakyat

Sekilas, nama “Sekolah Rakyat” terasa akrab dan penuh nuansa historis. Namun keakraban itu membawa serta beban sejarah. Dalam catatan kolonial Belanda, Sekolah Rakyat atau _Volkschool_ merupakan bentuk pendidikan dasar tiga tahun untuk kaum pribumi. Sebuah bentuk pendidikan yang secara sadar dibatasi agar tak mengancam tatanan penjajahan. Kini, nama itu hidup kembali, dalam wajah berbeda, namun menyimpan kemungkinan pengulangan pola diskriminatif yang serupa: segregasi dalam balutan kepedulian.

Alih-alih menjadi ruang kebebasan berpikir dan penciptaan masa depan, proyek Sekolah Rakyat justru berpotensi menjadi simbol baru dari pemisahan kelas sosial dalam pendidikan nasional. Pendidikan, dalam arti filosofisnya, bukan sekadar sarana mencetak tenaga kerja untuk pasar, tetapi media pembebasan dan kesetaraan. Namun pemerintah tampak lebih sibuk membangun simbol ketimbang membenahi substansi.

Sekolah Rakyat: Simpati yang Menyimpan Diskriminasi

Dalam narasi resmi, Sekolah Rakyat didefinisikan sebagai bentuk solusi bagi kelompok marjinal. Namun, konsepnya yang berupa sekolah berasrama dari jenjang SD hingga SMA justru mengundang tanda tanya besar. Mengapa harus terpisah? Mengapa tidak memperbaiki sekolah-sekolah negeri yang sudah ada?

Data dari Kementerian Pendidikan menyebutkan lebih dari 10.000 sekolah dasar negeri dalam kondisi rusak, dan sebagian di antaranya sangat tidak layak sebagai tempat belajar. Anggaran besar yang digelontorkan untuk membangun lembaga baru seharusnya bisa dialihkan untuk revitalisasi sekolah eksisting. Ironisnya, langkah pemerintah malah menciptakan sistem paralel yang dapat memperlebar jurang ketimpangan: Sekolah Rakyat untuk kaum miskin dan Sekolah Garuda untuk kelompok yang “terpilih”.

Alih-alih membangun inklusi, proyek Sekolah Rakyat justru mengabadikan stigma kemiskinan dalam institusi pendidikan. Anak-anak dari keluarga kurang mampu kembali dikumpulkan dalam sistem yang mengasingkan mereka dari dinamika masyarakat umum. Ini adalah bentuk pengelompokan sosial terselubung yang nyaris tak disadari karena dibalut narasi “kepedulian”.

Sekolah Garuda: Ambisi dalam Balutan Inovasi

Bersamaan dengan lahirnya Sekolah Rakyat, muncul pula program “Sekolah Garuda”—sebuah entitas unggulan yang dicanangkan sebagai laboratorium kemajuan teknologi dan sains. Sekolah ini menjadi simbol kecepatan, modernisasi, dan transformasi digital dalam sistem pendidikan nasional. Namun pertanyaan mendasarnya tetap sama: Apakah sudah waktunya?

Pembangunan Sekolah Garuda menyedot alokasi besar dari anggaran pendidikan nasional, sementara fakta di lapangan menunjukkan lebih dari separuh ruang kelas SD mengalami kerusakan ringan hingga sedang. Di Bengkulu, kerusakan ruang kelas mencapai 67,70% untuk jenjang SD. Di Maluku Utara, lebih dari 60% ruang kelas SMP dalam kondisi tak layak. Di Papua Barat dan Papua, angka kerusakan pada SMA dan SMK juga menunjukkan kondisi serupa. Apakah negara menutup mata terhadap kenyataan ini demi mengejar ambisi sekolah unggulan?

Sekolah Garuda bukan sekadar proyek pendidikan, tapi lambang baru dari stratifikasi sosial. Sekolah ini akan melahirkan kelas istimewa, menciptakan jarak yang semakin nyata antara mereka yang “dipilih” dan mereka yang “diberi belas kasihan”. Sekolah ini lebih menyerupai _corporate school_ ketimbang lembaga publik, karena orientasinya bukan pada pemerataan, melainkan pencitraan dan eksklusivitas.

Pendidikan dalam Bayang-bayang Ideologi Pasar

Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda, pada dasarnya, merupakan dua sisi dari mata uang yang sama: wajah baru pendidikan Indonesia yang dikendalikan oleh logika pasar. Proyek-proyek pendidikan kini tak lagi murni berbasis pada nilai-nilai idealisme, melainkan menjadi produk kebijakan yang pragmatis dan transaksional. Pemerintah bertindak seperti korporasi: membangun merek, menciptakan diferensiasi, dan menjual harapan.

Dalam kerangka ideologi pasar, pendidikan bukan lagi hak fundamental, tetapi investasi. Konsekuensinya, nilai-nilai etis-humanistik perlahan tergerus oleh tuntutan efisiensi, kompetisi, dan output. Sekolah menjadi tempat mencetak tenaga kerja, bukan ruang pembentukan karakter dan pembebasan pikiran. Dalam konteks ini, Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda justru memperkuat sistem pendidikan yang memisahkan, bukan mempersatukan.

Asumsi bahwa sekolah hanya berfungsi untuk menciptakan angkatan kerja sesuai kebutuhan pasar, telah menggeser fungsi utama pendidikan: untuk memahami kehidupan, membentuk kesadaran sosial, dan menjadi warga negara yang kritis serta aktif.

Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist)

Guru dan Sekolah: Pilar yang Terabaikan

Di tengah megahnya pembangunan gedung sekolah baru, ada satu elemen penting yang nyaris terlupakan: guru. Ribuan guru honorer di Indonesia masih berada dalam bayang-bayang ketidakpastian ekonomi. Gaji tak layak, status tak jelas, dan beban kerja berlebih menjadi realita sehari-hari mereka. Pembangunan sekolah fisik, betapapun mewahnya, akan sia-sia jika manusia di dalamnya tak diberi kehidupan yang layak.

Negara harus lebih jujur dalam melihat wajah pendidikan dari dekat. Pendidikan bukan tentang bangunan, bukan tentang proyek, tetapi tentang manusia. Meningkatkan kualitas pendidikan berarti meningkatkan kesejahteraan guru, memperbaiki kurikulum, menciptakan lingkungan belajar yang merdeka dan inklusif. Tidak ada transformasi pendidikan yang berhasil jika tak dimulai dari kesejahteraan para pendidik.

Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist)

Pendidikan yang Adil dan Berkeadilan

Pendidikan adalah amanat konstitusi, bukan arena eksperimentasi politik. UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Maka menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin bahwa pendidikan hadir tanpa diskriminasi, tanpa segmentasi sosial, dan tanpa manipulasi makna.

Pendidikan seharusnya tidak menjadi alat pemisah, tapi jembatan. Pemerintah harus berani melakukan reorientasi kebijakan. Fokus harus diarahkan pada pemerataan kualitas sekolah, penyediaan fasilitas yang layak, dan pemberdayaan tenaga pengajar. Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda tidak boleh menjadi simbol stratifikasi baru dalam dunia pendidikan.

Yang diperlukan bukan sekolah unggulan atau sekolah rakyat, melainkan sekolah yang berkeadilan—dimana semua anak, apapun latar belakangnya, mendapat akses yang sama untuk tumbuh, bermimpi, dan berkontribusi untuk bangsanya.

Menuju Pendidikan yang Membebaskan

Sebagaimana kata filsuf Paulo Freire, pendidikan sejatinya adalah praktik kebebasan. Ia membentuk kesadaran kritis, membangkitkan keberanian untuk mempertanyakan, dan memanusiakan manusia. Ketika kebijakan pendidikan justru menjebak manusia dalam kotak-kotak kelas dan label sosial, maka kita patut bertanya: untuk siapa sesungguhnya pendidikan itu dibangun?

Kini, saatnya kita kembali ke esensi: bahwa pendidikan adalah untuk semua, bukan untuk segelintir. Bahwa pendidikan bukan proyek pencitraan, tapi proses panjang memanusiakan bangsa. Maka pemerintah—siapa pun yang berkuasa—harus berhenti bermain-main dengan pendidikan.

Tidak perlu membangun mercusuar jika pondasi rumah rakyat belum kokoh. Tidak perlu menggagas sekolah baru jika sekolah lama tak kunjung diperbaiki. Dan yang terpenting, tidak perlu menciptakan perbedaan jika yang dibutuhkan adalah persatuan melalui pengetahuan.

_Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia,_ kata Nelson Mandela. Namun senjata itu hanya akan berguna jika dipegang oleh semua tangan, bukan segelintir yang dipilih.

Oleh: Andi Febriansyah Rahmadana

Lebih baru Lebih lama