Tanggung Jawab Moral yang Hilang: PDI Perjuangan dan Kasus Mangihut Rajagukguk Tanggung Jawab Moral yang Hilang: PDI Perjuangan dan Kasus Mangihut Rajagukguk

Tanggung Jawab Moral yang Hilang: PDI Perjuangan dan Kasus Mangihut Rajagukguk

Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist)

Oleh: Jamaluddin Lobang (Mahasiswa Hukum UNRIKA)

SMSNEWS.id | Batam - Dugaan keterlibatan Mangihut Rajagukguk, oknum Anggota DPRD Kota Batam, dalam kasus dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan merupakan tamparan keras bagi etika politik dan demokrasi yang tengah dibangun di Batam.

Keterlibatan seorang legislator dalam pusaran konflik hukum tentu menciptakan riak keprihatinan mendalam, bukan hanya terhadap dirinya pribadi, namun juga terhadap citra lembaga DPRD dan partai politik yang menaunginya. 

Kepercayaan publik pun terancam goyah, karena tak sedikit masyarakat yang kemudian terjebak dalam generalisasi—menganggap bahwa seluruh anggota dewan ataupun partai politik serupa dengan pelaku dugaan pelanggaran tersebut.

Dan yang lebih mengkhawatirkan, ketidakjelasan proses hukum yang berjalan tanpa adanya transparansi informasi maupun konferensi pers resmi—memperkeruh suasana. 

Kasus ini kurang lebih sudah hampir satu bulan berlalu, namun kejelasan penanganannya tak kunjung datang. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam dan asumsi liar yang dapat merusak fondasi kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum.

Seperti yang kita pahami bersama, terdapat kode etik dalam tatanan politik di Indonesia yang harus dijunjung tinggi oleh setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Norma-norma ini bukanlah sekadar aturan administratif, melainkan penopang martabat, kehormatan, dan kredibilitas institusi DPRD. 

Perilaku setiap anggota dewan, termasuk dalam menjalankan tanggung jawab dan menjaga integritas, adalah cerminan langsung dari lembaga yang mereka wakili.

Jika norma-norma tersebut dikhianati, maka institusi akan kehilangan pijakan moralnya. Kepercayaan publik yang susah payah dibangun pun akan lenyap, digantikan oleh sinisme dan apatisme terhadap lembaga legislatif.

Dalam konteks ini, Badan Kehormatan Partai Politik memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk menjaga kehormatan partai. Ketika ada dugaan pelanggaran etika oleh kadernya, partai tidak boleh diam. 

Proses investigasi dan penegakan kode etik hingga pemberian sanksi adalah mekanisme yang harus dijalankan secara konsisten dan tegas.

Namun, sampai saat ini, belum terlihat adanya langkah konkret yang diambil. Padahal, partai memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi yang berjenjang, mulai dari teguran hingga pemecatan, sebagai bentuk komitmen menjaga integritas partai dan mewujudkan prinsip Good and Clean Governance. Penegakan etika ini sejatinya adalah bagian dari tanggung jawab moral partai kepada rakyat.

Di sisi lain, beredarnya informasi di media bahwa Mangihut Rajagukguk tidak berani mengambil langkah hukum untuk melaporkan balik pihak yang diduga memfitnahnya—meski telah diinstruksikan oleh DPC PDI Perjuangan Kota Batam—menambah ketidakjelasan arah penyelesaian kasus ini. 

Hal ini menimbulkan dugaan di masyarakat bahwa yang bersangkutan menyadari kesalahan yang telah diperbuat, sehingga enggan melawan tuduhan yang diarahkan padanya.

Lebih lanjut, pernyataan Advokat Natalius Zega dalam wawancaranya dengan PelitaToday.com pada Jumat, 2 Mei 2025, mengungkap bahwa proses perdamaian antara Mangihut Rajagukguk dan pelapor dinilai cacat hukum. 

Diduga, proses damai tersebut dilakukan dalam kondisi yang tidak ideal, bahkan terkesan dipaksakan, mengingat korban saat itu tengah dirawat di rumah sakit. Jika benar demikian, maka semangat keadilan telah dikompromikan demi kepentingan politis semata.

Meski perdamaian telah tercapai dan surat perjanjian pun beredar di tengah masyarakat, moral politik dari kejadian ini tetap tercoreng. Laporan yang konon telah dicabut seharusnya tidak serta-merta menghapus tanggung jawab etik dan moral yang melekat pada pejabat publik. Proses negosiasi yang menghasilkan pencabutan laporan tetap menyisakan jejak keraguan dan mengganggu persepsi publik.

Oleh sebab itu, seharusnya Badan Kehormatan DPRD Kota Batam dan Badan Kehormatan Partai Politik bersikap tegas. Ketegasan itu menjadi penting untuk merestorasi kepercayaan publik, yang telah lama menjadi fondasi utama keberlangsungan demokrasi. 

Pemberian sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota DPRD ataupun pemecatan dari partai politik merupakan langkah yang selaras dengan prinsip etika berat yang dilanggar.

Tindakan tegas seperti ini bukan sekadar hukuman, melainkan simbol komitmen lembaga dan partai politik dalam menjaga integritas, moralitas, dan kepercayaan rakyat.

Hanya dengan cara itu, DPRD Kota Batam dan partai politik yang menaunginya dapat mengembalikan citra luhur yang kini tengah tercoreng oleh perilaku segelintir oknum.

Lebih baru Lebih lama