Status Anggota DPR Tak Hilang Meski Dinonaktifkan Partai, PAW Jadi Mekanisme Resmi Status Anggota DPR Tak Hilang Meski Dinonaktifkan Partai, PAW Jadi Mekanisme Resmi

Status Anggota DPR Tak Hilang Meski Dinonaktifkan Partai, PAW Jadi Mekanisme Resmi

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini. (Foto : dok/ist)

SMSNEWS.id | Jakarta – Ramainya isu penonaktifan sejumlah anggota DPR RI oleh partai politik menimbulkan perdebatan di publik. Meski telah diumumkan secara resmi oleh pimpinan partai, ternyata status keanggotaan para legislator tersebut tetap melekat. Secara hukum, pemberhentian anggota DPR hanya bisa dilakukan melalui mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW), bukan sekadar penonaktifan.

Penjelasan ini disampaikan oleh akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini, dalam wawancaranya dengan Hukumonline.com, Senin (1/9/25).

“Partai politik boleh saja menyatakan kadernya nonaktif dari fraksi, tetapi secara hukum mereka masih anggota DPR sampai ada mekanisme PAW yang dijalankan sesuai ketentuan,” tegas Titi Anggraini.

Penonaktifan Bukan Pemberhentian Resmi

Sebelumnya, pimpinan DPP PAN menonaktifkan Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Surya Utama alias Uya Kuya dari Fraksi PAN DPR. DPP Partai NasDem juga mengambil langkah serupa terhadap Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, sedangkan DPP Partai Golkar menonaktifkan Adies Kadir.

Keputusan ini diumumkan serentak pada Minggu (31/8/25) dan penonaktifan tersebut berlaku efisien sejak hari ini, Senin (1/9/25) sebagaimana dituangkan dalam Siaran Pers masing-masing Parpol yang menonaktifkan kadernya tersebut.

Meski demikian, menurut Titi, langkah partai tersebut hanyalah kebijakan internal. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), istilah nonaktif sebenarnya hanya berlaku untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diproses atas pengaduan.

“Jadi, penggunaan istilah nonaktif untuk anggota DPR secara umum tidak dikenal dalam aturan,” jelasnya.

Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang telah diperbarui lewat Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2025 pun menegaskan hal serupa. Nonaktif hanya berlaku di MKD, bukan pada seluruh anggota DPR.

Mekanisme PAW Sebagai Jalan Formal

UU MD3 melalui Pasal 239 secara tegas mengatur bahwa anggota DPR bisa berhenti antarwaktu karena beberapa alasan, seperti meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Pemberhentian ini bisa terjadi jika seorang anggota melanggar sumpah/janji jabatan, dijatuhi pidana lima tahun atau lebih, melanggar kode etik, diberhentikan oleh partai, atau berpindah ke partai lain.

Posisi anggota DPR yang diberhentikan tersebut kemudian akan digantikan oleh calon legislatif dari partai dan daerah pemilihan yang sama dengan perolehan suara terbanyak berikutnya. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 242 UU MD3.

“PAW adalah mekanisme yang sah secara hukum untuk menjamin keberlanjutan representasi politik di parlemen sesuai hasil pemilu. Masa jabatan pengganti hanya berlaku untuk sisa periode anggota yang digantikannya,” urai Titi.

Pemberhentian Sementara

Selain PAW, terdapat mekanisme pemberhentian sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 244 UU MD3. Hal ini berlaku apabila seorang anggota DPR berstatus terdakwa dalam perkara pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun atau perkara pidana khusus seperti korupsi, narkotika, terorisme, dan tindak pidana berat lainnya.

Apabila terbukti bersalah melalui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, anggota tersebut diberhentikan dari keanggotaan DPR. Namun, jika dinyatakan tidak bersalah, kedudukannya otomatis dipulihkan. Selama pemberhentian sementara, anggota DPR masih berhak atas sebagian hak keuangan sesuai tata tertib DPR.

Klarifikasi Publik Diperlukan

Titi menilai penggunaan istilah nonaktif oleh partai politik justru menimbulkan kebingungan di masyarakat.

“Agar publik tidak salah paham, partai politik harus menjelaskan secara terbuka apa makna penonaktifan itu, serta bagaimana konsekuensinya terhadap status dan hak-hak anggota DPR yang bersangkutan,” katanya.

Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto bersama pimpinan partai politik telah merespons gejolak publik dengan mencabut beberapa kebijakan DPR, di antaranya terkait besaran tunjangan dan moratorium perjalanan dinas ke luar negeri.

Meski langkah politik sudah diambil, persoalan hukum mengenai status anggota DPR yang dinonaktifkan tetap harus merujuk pada aturan formal. Seperti disampaikan Titi, satu-satunya jalan yang sah adalah melalui mekanisme PAW, bukan sekadar keputusan internal partai. (*/Red)

Editor : John

Lebih baru Lebih lama