![]() |
Alex Manurung (Aktivis Mahasiswa Kepulauan Riau). (Foto : dok/ist) |
Oleh: Alex Manurung (Aktivis Mahasiswa Kepulauan Riau)
SMSNEWS.id | Batam - GMNI lahir pada 23 Maret 1954 sebagai wadah pemersatu mahasiswa yang berhaluan marhaenisme. Sejak awal, organisasi ini memosisikan diri bukan hanya sebagai perkumpulan mahasiswa, tetapi sebagai barisan ideologis yang berpihak pada kaum kecil. Dalam sejarah panjang pergerakan mahasiswa Indonesia, GMNI konsisten menjaga garis perjuangan rakyat. Konsep Tri Mantap yang terdiri dari Mantap Ideologi, Mantap Kaderisasi, dan Mantap Organisasi adalah pilar yang terus diwariskan untuk memastikan GMNI tetap relevan sepanjang zaman.
Mantap ideologi adalah fondasi utama. Bung Karno pernah menegaskan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya.” Ideologi marhaenisme bukan sekadar warisan sejarah, tetapi panduan sikap dalam menghadapi persoalan bangsa hari ini. Bagi saya, kader GMNI harus memandang realitas sosial dengan kacamata marhaenis: menolak segala bentuk penindasan dan memperjuangkan keadilan bagi kaum kecil. Tanpa ideologi, organisasi hanyalah kumpulan tanpa arah.
Saya melihat betapa derasnya arus kapitalisme global hari ini telah banyak menggerus kesadaran mahasiswa. Banyak gerakan yang dulunya berhaluan rakyat kini cenderung pragmatis. Di sinilah GMNI harus tampil berbeda. Mantap ideologi menjadi benteng agar kader GMNI tidak hanyut dalam arus kepentingan elit politik dan kapital besar. Marhaenisme harus terus hidup sebagai kompas perjuangan yang meneguhkan keberpihakan pada rakyat.
Konteks Kepulauan Riau menunjukkan betapa ideologi ini penting. Batam sebagai kota industri sering meminggirkan masyarakat lokal, terutama nelayan dan buruh. Di balik kilau investasi asing, terdapat ketimpangan sosial yang nyata. Jika kader GMNI tidak mantap secara ideologi, mereka akan mudah percaya pada narasi pembangunan yang justru menyengsarakan rakyat. Saya pribadi meyakini, marhaenisme adalah satu-satunya jalan untuk menjaga keberpihakan pada mereka yang tersisihkan.
Namun, ideologi yang kuat tidak akan berarti jika tidak diikuti oleh kaderisasi yang konsisten. Bung Karno pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Kaderisasi di GMNI haruslah melahirkan pemuda-pemuda yang dimaksud Bung Karno itu, kritis, berkarakter, dan berani mengambil risiko demi kepentingan rakyat. Bagi saya, kaderisasi bukan sekadar rutinitas formal seperti pelatihan atau diskusi, tetapi proses pembentukan karakter pejuang.
Saya sering melihat bagaimana kaderisasi yang setengah hati hanya melahirkan aktivis panggung, bukan pejuang lapangan. GMNI harus menghindari itu. Mantap kaderisasi berarti mencetak kader yang paham teori sekaligus berani praktik. Misalnya, di Batam, kader GMNI tidak cukup hanya membaca teori ketidakadilan, tetapi harus berani berdiri bersama buruh yang menuntut haknya, atau bersama nelayan yang tanah dan lautnya digusur oleh investasi.
Kaderisasi yang mantap juga berarti menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Era digital membuka ruang baru bagi advokasi dan konsolidasi. Kader GMNI harus mampu menggunakan media sosial sebagai senjata perjuangan, tanpa melupakan akar gerakan massa. Saya percaya, kader yang mantap adalah mereka yang bisa menggabungkan kekuatan intelektual, moralitas, dan teknologi untuk membela rakyat.
Lalu, mantap organisasi menjadi payung yang menjaga agar ideologi dan kaderisasi tetap berjalan dalam satu barisan. Organisasi adalah rumah bersama, tempat kader mengasah diri dan berjuang bersama. Tanpa organisasi yang kokoh, ideologi hanya menjadi wacana, dan kaderisasi akan tercerai-berai. Bagi saya, organisasi yang mantap berarti memiliki sistem yang tertata, kepemimpinan yang kolektif, dan manajemen yang transparan.
GMNI harus belajar dari banyak organisasi mahasiswa lain yang hancur karena konflik internal dan perebutan kepentingan. Mantap organisasi berarti menyingkirkan ego pribadi demi menjaga persatuan. Bung Karno pernah mengingatkan, “Gotong royong adalah jiwa bangsa kita.” Prinsip gotong royong inilah yang harus menjadi dasar manajemen organisasi GMNI: saling menopang, bukan saling menjatuhkan.
Dalam pengalaman saya, soliditas organisasi adalah modal penting untuk menghadapi tekanan eksternal. Pemerintah atau kekuatan kapital bisa mencoba melemahkan gerakan mahasiswa dengan cara memecah belah. Jika organisasi rapuh, maka gerakan pun akan runtuh. Karena itu, menjaga mantap organisasi berarti menjaga marwah GMNI sebagai barisan pejuang rakyat.
Tri Mantap GMNI juga bisa dibaca sebagai refleksi sejarah pergerakan. Sejak era Orde Lama, GMNI dikenal sebagai organisasi yang teguh membela ide-ide Bung Karno. Pada masa Orde Baru, banyak kader GMNI yang dikejar, dipenjara, bahkan dipaksa bungkam karena dianggap ancaman. Namun, GMNI tetap bertahan karena memiliki tiga pilar ini. Bahkan pada era Reformasi, GMNI tetap berdiri di garda depan memperjuangkan demokrasi.
Bagi saya, Tri Mantap bukan sekadar doktrin, melainkan warisan perjuangan yang sudah terbukti menjaga GMNI melewati zaman. Ia menjawab pertanyaan besar tentang bagaimana organisasi mahasiswa bisa bertahan dalam gempuran ideologi asing, represi politik, maupun godaan pragmatisme. Selama Tri Mantap dijaga, GMNI tidak akan kehilangan arah.
Sebagai aktivis mahasiswa di Kepulauan Riau, saya merasakan betul relevansi Tri Mantap ini. Di tengah derasnya industrialisasi, ketimpangan sosial, dan ancaman lingkungan, mahasiswa harus tampil sebagai garda terdepan pembela rakyat. GMNI melalui Tri Mantap-nya memberi saya pegangan bahwa perjuangan ini bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban moral sebagai kader marhaenis.
Pada akhirnya, Tri Mantap GMNI adalah janji sekaligus tantangan. Mantap Ideologi memastikan kita tidak kehilangan arah, Mantap Kaderisasi menjamin lahirnya generasi baru pejuang, dan Mantap Organisasi menjaga rumah perjuangan tetap kokoh. Sebagai , seorang aktivis mahasiswa dari Kepulauan Riau, saya percaya GMNI akan terus relevan sepanjang kadernya setia pada Tri Mantap. Inilah jalan konsistensi gerakan mahasiswa marhaenis, dari masa lalu, kini, hingga masa depan.