Kasus Mahasiswi Dugem Ungkap Lemahnya Filter dan Pengawasan Beasiswa KIP-K Kasus Mahasiswi Dugem Ungkap Lemahnya Filter dan Pengawasan Beasiswa KIP-K

Kasus Mahasiswi Dugem Ungkap Lemahnya Filter dan Pengawasan Beasiswa KIP-K

Tangkapan layar mahasiswi berinisial TSK dari salah satu universitas negeri ternama di Solo yang kedapatan berpesta di klub malam. (Foto : dok/Tl/ist)

SMSNEWS.id | Solo — Kasus viral mahasiswi berinisial TSK dari salah satu universitas negeri ternama di Solo yang kedapatan berpesta di klub malam tak sekadar memantik kontroversi moral, tapi juga menggugah pertanyaan mendasar: seberapa ketat sebenarnya pengawasan dan seleksi penerima beasiswa KIP-Kuliah di Indonesia?

TSK, mahasiswi aktif Program Studi Bisnis Digital, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, diketahui merupakan penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) tahun 2023. Beasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu itu menjadi fasilitas pendidikan yang dijamin penuh oleh pemerintah. Namun, tindakan TSK yang terekam menikmati dunia malam dengan pakaian minim, menggoyang di bawah lampu disko, dianggap menodai nilai-nilai penerima bantuan negara.

Video yang sempat menyebar luas di media sosial seperti Instagram dan TikTok memunculkan gelombang kritik, “Kalau seperti ini, bagaimana nasib mahasiswa lain yang benar-benar berjuang tapi gagal dapat KIP? Sementara penerimanya justru bersenang-senang dengan uang rakyat,” ujar salah satu mahasiswa yang meminta identitas tidak dipublikasikan kepada media ini, Jumat (31/10/25).

Menanggapi kejadian itu, pihak kampus bergerak cepat. Mereka membenarkan bahwa TSK adalah mahasiswa aktif dan mengumumkan sanksi resmi: peringatan tertulis, kewajiban mengikuti konseling enam bulan, pencabutan KIP-K, dan larangan menerima beasiswa lain selama kuliah.

Namun, di balik langkah tegas tersebut, muncul pertanyaan yang lebih mengusik: mengapa sistem pengawasan dan evaluasi penerima beasiswa tidak mampu mendeteksi perilaku menyimpang lebih awal?

Salah satu pemerhati pendidikan yang enggan menyebutkan namanya menilai, kasus TSK bukanlah sekadar soal moralitas individu, tetapi juga mencerminkan kelemahan struktural dalam tata kelola beasiswa nasional.

“Kita perlu memastikan bahwa penerima beasiswa bukan hanya memenuhi syarat administratif dan ekonomi, tapi juga memiliki integritas dan tanggung jawab sosial. Negara perlu membangun sistem pembinaan, bukan hanya seleksi,” ujarnya kepada media ini, Jumat (31/10/25).

Lebih jauh, insiden ini menyoroti tantangan besar dunia pendidikan tinggi: bagaimana menjaga keseimbangan antara hak atas akses pendidikan dan tanggung jawab moral penerima bantuan publik.

Kasus TSK seolah menjadi alarm keras bagi pemerintah dan kampus agar program KIP-Kuliah tidak berhenti pada seleksi data ekonomi semata, melainkan juga memastikan penerimanya benar-benar mencerminkan semangat perjuangan dan etika akademik. Tanpa itu, beasiswa yang dimaksudkan untuk mengangkat derajat bangsa justru bisa berubah menjadi simbol kemunafikan sosial baru di ruang pendidikan. (Gomal/John)

Editor : Red

Lebih baru Lebih lama