DPRD Batam: Pendamping Atau Pengawas? DPRD Batam: Pendamping Atau Pengawas?

DPRD Batam: Pendamping Atau Pengawas?

Ilustrasi kiriman dari penulis. (Foto : dok/ist)

Oleh: Aktivis Mahasiswa UNRIKA

SMSNEWS.id | Batam - Dalam nadi Batam yang berdenyut keras di tengah gemuruh kapitalis yang menguasai, esai ini lahir dari anak muda yang peduli. Batam, kota yang seolah diciptakan dari nyanyian kerakusan kapitalis, menjadi saksi bisu dari perbudakan korporat yang begitu nyata. Bahkan, pemerintah pun tampak terbelenggu oleh kekuatan kapital yang ada di sini.

Pemerintah, dengan segala kelengkapan dan kecukupan dalam bekerja, masih saja bingung dan bobrok dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan perintah undang-undang. Pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, maupun yudikatif begitu merata dari skala yang besar (pusat) hingga ke skala yang kecil (daerah).

Di bawah kepemimpinan Amsakar Achmad dan Li Claudia Candra, Batam menyaksikan fenomena yang menarik perhatian publik. Wakil Wali Kota, Li Claudia Candra, sering menyebut nama Presiden Prabowo Subianto dalam setiap penyidakan, mulai dari penertiban pembuangan sampah hingga kerusakan lingkungan oleh aparat pemerintah dan mafia-mafia tanah yang merampas halaman rumah. 

Dalam setiap proses penyidakan pun, Anggota DPRD Batam selalu mendampingi mereka: peresmian proyek hingga inspeksi mendadak, kehadiran wakil rakyat tampak begitu menyatu dengan aktivitas eksekutif.

Gejala ini pun menimbulkan pertanyaan publik mengenai peran dan fungsi, hingga batasan lembaga antara legislatif dan eksekutif. Bukankah DPRD harus menjalankan fungsi secara merdeka? atau justru mereka telah bermitra tanpa ada pengawasan kritis?

Secara aturan, DPRD mempunyai tiga fungsi: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tiga fungsi itu mengedepankan integritas dan keseimbangan melalui mekanisme pengawasan yang ketat terhadap eksekutif. 

Wakil rakyat yang lebih sering terlihat mendampingi kepala daerah dibanding mengkritisi kinerjanya, akan menyimpulkan bahwa fungsi kontrol terhadap kekuasaan begitu tumpul dan sarat kepentingan. 

Munculnya DPRD dalam mendampingi kegiatan eksekutif adalah simbol dari hubungan akrab namun lupa dengan amanat rakyat. Bahkan tikus di selokan perumahan akan meragukan independensi pengawasan yang sejatinya adalah jiwa legislatif. 

Dalam etika ini adalah sebuah pelanggaran yang begitu rawan karena kedekatan DPRD dan kepala daerah sarat akan konflik kepentingan. Apalagi jika dalam waktu yang bersamaan terdapat dinamika politik  yang bersifat transaksional terhadap suatu Koalisi yang begitu solid

Koalisi besar terkadang menciptakan hubungan yang terlalu harmonis antara legislatif dan eksekutif, hingga mengaburkan fungsi kontrol yang semestinya berjalan kritis dan objektif. Dalam situasi seperti ini, masyarakat sebagai pemilih harus menjadi penyeimbang baru. Apalagi walikota dan wakil walikota termasuk dalam Koalisi gemuk pada pemilu. 

Pengawalan yang selalu dilakukan oleh anggota DPRD Kota Batam kepada kepala daerah mengalami ambiguitas peran legislatif yang seolah mempertontonkan ketidakpahaman mengenai tugas dan fungsi dari lembaga pengawasan itu sendiri.

Ketika pengawas menyatu di lapangan, anjing penjaga perusahaan pun akan kesulitan membedakan mana security dan mana yang pencuri. 

Jika setiap aduan masyarakat langsung ditangani dalam satu panggung yang sama dengan eksekutif, maka potensi konflik kepentingan akan semakin terbuka. Di sinilah etika politik seharusnya menjadi pagar yang tegas.

Dalam negara demokrasi yang sehat, DPRD adalah penyeimbang yang kritis, bukan pendamping yang loyal. Harmonisasi tanpa kontrol akan  melahirkan stagnasi kebijakan.

Apalagi dalam konteks penganggaran, DPRD memiliki peran vital yang rentan disalahgunakan bila tidak dijaga integritasnya. Ketika fungsi anggaran dan pengawasan melebur tanpa jarak, lahirlah potensi kompromi yang merugikan publik.

Bahkan publik memahami satu frasa: kepentingan partai seringkali mendominasi keputusan legislatif untuk mengontrol atau malah meloloskan kebijakan kepala daerah.

Jika semua program kepala daerah selalu ditemani oleh dewan perwakilan rakyat agar berjalan sesuai visi misi, lalu siapa yang akan menilai dan mengawasi anggaran yang dikorupsi? Legislator justru dibutuhkan untuk mengajukan pertanyaan sulit, bukan menyederhanakan jalannya pemerintahan. Tanpa kritik, tidak ada pembenahan. Tanpa kontrol, tidak ada akuntabilitas.

Kerusakan lingkungan terjadi di kota ini, tapi kritikan dan pengawasan terhadap pemerintah tidak dilakukan oleh DPRD. Banjir, permasalahan sampah, penggusuran rumah, pengrusakan hutan, dan kemacetan. DPRD diam tak berkata. Mungkin semua takut karena wakil walikota punya kedekatan dengan orang nomor satu di Indonesia. 

Demokrasi Batam kehilangan jiwanya karena pengawas tak lagi berani bersuara. Fungsi kontrol bukan sekadar prosedur, tapi bentuk keberpihakan terhadap rakyat yang memilih mereka.

Fenomena “pengawalan” yang secara terus menerus tanpa kritikan ini harus dibaca sebagai upaya pelemahan fungsi DPRD. Hubungan yang terlalu mesra antara legislator dan eksekutor bukan wujud kerja sama ideal, tapi risiko besar bagi transparansi anggaran yang mudah di korupsi. 

Menghadirkan kepercayaan publik pada lembaga DPRD memerlukan jarak sehat dan prinsip-prinsip etika politik yang dijalankan tanpa kompromi. Demokrasi yang kuat dibangun di atas keseimbangan, bukan harmoni semu.

Sebagaimana adagium demokrasi: penguasa yang baik pun tetap butuh pengawas yang kritis. Tanpa itu, kekuasaan hanya akan berjalan tanpa arah, dan rakyat kehilangan wakil sejatinya.

Tulisan di atas adalah kiriman dari seorang penulis yang dikirimkan ke redaksi media ini, dan penulis meminta untuk tidak menyebutkan nama aslinya dengan alasan demi keamanan.

Lebih baru Lebih lama