Menuju Delapan Dekade Indonesia: Sebuah Refleksi Cinta, Bangsa, dan Janji yang Belum Usai Menuju Delapan Dekade Indonesia: Sebuah Refleksi Cinta, Bangsa, dan Janji yang Belum Usai

Menuju Delapan Dekade Indonesia: Sebuah Refleksi Cinta, Bangsa, dan Janji yang Belum Usai

Ilustrasi. (Foto : dok/ist)

Oleh: Alex Manurung

SMSNEWS.id | Batam - Delapan dekade telah berlalu sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan ke seantero dunia. Waktu tak pernah berhenti mengalir, namun semangat kemerdekaan yang diwariskan oleh para Founding Father dan pahlawan-pahlawan bangsa tetap membara dalam jiwa setiap anak negeri yang mencintai tanah airnya. Dalam setiap tarikan napas Republik ini, terkandung peluh, darah, dan pengorbanan para pendahulu yang tak ternilai dengan apapun di dunia. Mereka adalah cahaya dalam gelap, kompas dalam kabut, dan pelita di tengah malam panjang penjajahan. Kini, saat Indonesia genap berusia 80 tahun, inilah momen reflektif bagi kita semua untuk tidak sekadar merayakan usia, tetapi merawat makna dan janji luhur kemerdekaan.

Indonesia hari ini adalah buah dari keberanian, kecerdasan, dan ketulusan para pejuang yang tidak pernah gentar menghadapi senapan dan meriam kolonialisme. Mereka yang dengan gagah berani menukar nyawa demi satu kata yang sakral: merdeka. Dan ketika proklamasi itu dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, bukan hanya negara yang lahir, tetapi juga sebuah peradaban yang menjunjung tinggi harkat manusia dan semangat gotong royong. Maka tak terbalaskan jasa mereka, selain dengan komitmen kita untuk menjaga, merawat, dan melanjutkan perjuangan itu di tengah tantangan zaman yang kian kompleks.

Sebagai putra bangsa, saya tidak bisa hanya menjadi penonton dalam perjalanan sejarah yang terus berjalan ini. Kecintaan saya pada negeri ini bukan sekadar retorika kosong, tetapi sebuah kesadaran yang tumbuh dari pengalaman hidup, dari melihat ketimpangan, dari merasakan denyut harapan di mata mereka yang terpinggirkan. Nasionalisme bagi saya bukan atribut, bukan jargon, melainkan sikap hidup yang menuntut keberanian untuk bersikap adil, berpihak pada yang lemah, dan setia pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar yang tak boleh tergoyahkan oleh kepentingan sesaat.

Pancasila adalah pelita di tengah pertarungan ideologi dunia, yang menjadikan Indonesia unik di mata bangsa lain. Di tengah arus ekstremisme, liberalisme, dan radikalisme, Pancasila hadir sebagai titik temu perbedaan, rumah bagi keragaman, dan fondasi moral bangsa. Dalam usia ke-80 ini, kita harus kembali menyadari betapa berharganya falsafah ini, yang bukan hanya menjadi dasar negara, tetapi juga arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai nilai luhur ini terpinggirkan oleh pragmatisme politik atau amnesia sejarah yang kini mulai merayap di kalangan muda.

Indonesia hari ini adalah wajah dari peradaban yang sedang mencari bentuk terbaiknya. Kita melihat kemajuan di satu sisi, tetapi juga keprihatinan di sisi lain. Ketimpangan sosial, korupsi, intoleransi, dan kerusakan lingkungan masih menjadi luka terbuka dalam tubuh bangsa ini. Maka memperingati 80 tahun kemerdekaan tidak boleh berhenti pada euforia seremoni. Ini harus menjadi titik balik untuk bertanya: sudahkah kita benar-benar merdeka dalam segala aspek? Sudahkah janji kemerdekaan menyentuh setiap anak negeri, dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote?

Generasi muda hari ini, termasuk saya, memikul tanggung jawab sejarah yang tidak ringan. Kami bukan lagi sekadar pewaris, tapi penjaga sekaligus pembaru nilai-nilai kebangsaan. Dalam era digital yang serba cepat, kami ditantang untuk tetap setia pada akar sambil berani menjulang ke langit. Kami harus bisa menjadi jembatan antara masa lalu yang penuh perjuangan dan masa depan yang penuh harapan. Dan di sinilah pentingnya pendidikan, keadilan, serta partisipasi aktif dalam demokrasi yang sehat dan beretika.

Tak dapat disangkal, banyak godaan dan tantangan yang mengintai bangsa ini. Politik yang transaksional, elite yang abai terhadap rakyat, dan budaya konsumtif yang mengikis rasa cinta tanah air. Namun saya percaya, selama masih ada yang bersuara untuk keadilan, selama masih ada yang mencintai negeri ini dengan tulus, maka Indonesia tidak akan runtuh. Justru dari anak-anak muda yang berani berkata "tidak" pada ketidakadilan dan "ya" pada perubahan, harapan itu terus hidup. Dari kampus, desa, hingga jalanan, suara kebangkitan itu tak akan pernah padam.

Kita tidak mungkin membayar lunas utang budi kepada para pahlawan. Tetapi kita bisa menunaikan janji mereka. Janji akan Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat. Janji akan tanah air yang tak lagi dijarah oleh korupsi dan ketamakan. Janji akan negeri yang mendidik anak-anaknya dengan ilmu dan akhlak, bukan dengan kebencian dan fanatisme. Sebagai putra bangsa, saya berjanji pada diri sendiri untuk terus menyuarakan kebenaran, menyemai harapan, dan menjadikan cinta tanah air sebagai poros dari seluruh gerak langkah kehidupan saya.

Di ulang tahun ke-80 Indonesia ini, saya menundukkan kepala dan mengucapkan terima kasih yang tak terbalaskan kepada Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan para pahlawan yang namanya tercetak maupun yang terlupakan. Terima kasih karena telah memberi kami rumah yang bernama Indonesia. Kami, generasi hari ini, berjanji akan menjaga rumah ini bukan hanya agar tetap berdiri, tetapi agar menjadi rumah yang penuh cinta, keadilan, dan masa depan.

Lebih baru Lebih lama