![]() |
Ilustrasi baja impor. (Foto : dok/ist) |
SMSNEWS.id | Jakarta - Harapan pelaku industri baja Indonesia untuk menikmati tarif masuk preferensial 19% ke pasar Amerika Serikat (AS) harus terkubur dalam-dalam. Kenyataannya, produk baja nasional justru dihadapkan pada tarif lebih dari 50% akibat kebijakan proteksionis Washington. Kondisi ini tidak hanya membatasi akses ekspor, tetapi juga memicu ancaman serius bagi pasar domestik.
Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan pada 22 Juli 2025, yang seolah menjanjikan tarif 19% melalui Executive Order (EO) 14257, ternyata tidak berlaku untuk sektor baja. Dokumen kebijakan tersebut secara eksplisit mengecualikan produk baja dan aluminium, yang tetap tunduk pada rezim tarif khusus Section 232.
Berdasarkan ketentuan Section 232, seluruh produk baja Indonesia tanpa terkecuali dikenai tarif dasar sebesar 50%.
"Ini adalah realita yang harus kita hadapi. Angka 19% itu tidak berlaku untuk baja," ungkap Widodo Setiadharmaji, pemerhati industri baja dan pertambangan.
Beban biaya itu, tekan Widodo Setiadharmaji, bahkan menjadi lebih besar untuk produk-produk strategis. Misalkan, untuk baja canai panas (HRC), pelat, baja tulangan, dan PC Strand, tarif efektifnya bisa meroket hingga 108%–122%. Angka fantastis ini merupakan akumulasi dari tarif dasar 50% ditambah dengan bea antidumping (AD) dan bea imbalan (CVD) yang mencapai 58–72%.
Meskipun begitu, ungkap Widodo Setiadharmaji, secercah peluang tetap ada. Produk baja lapis (coated steel), stainless steel, dan alloy tertentu yang tidak dikenai trade remedies tambahan, tarifnya "hanya" berkisar 50–55%.
Peluang di Tengah Tekanan
Walaupun tertekan tarif tinggi, pasar AS yang premium tetap menjadi magnet. Harga HRC di pasar Midwest AS yang sempat menyentuh lebih dari US$900 per short-ton (sekitar Rp14,7 juta per short-ton) jauh melampaui harga baja di pasar global lainnya. Selisih harga yang signifikan ini membuat pasar AS tetap menarik, bahkan jika baja produk Indonesia dikenai tarif 50%.
"Peluang ekspor masih terbuka, terutama untuk jenis produk yang tidak terkena bea masuk tambahan," ujar Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Akbar Djohan.
PT Krakatau Steel melalui PT Krakatau Baja Industri dan PT Tata Metal Lestari baru-baru ini kembali melakukan ekspor baja seberat 10.000 ton ke Amerika Serikat. Kegiatan ekspor ini merupakan lanjutan program ekspor sebelumnya yang mengapalkan 2.400 ton baja ke Polandia.
Akbar Djohan menegaskan sejak Maret 2025 hingga sekarang perseroan, selain melakukan ekspor ke Amerika Serikat dan Polandia, PT Krakatau Steel juga melakukan berbagai kesepakatan kerja sama dan aksi korporasi untuk meningkatkan penjualan. Manajemen perusahaan juga terus berbenah dan konsisten melakukan transformasi maupun restrukturisasi guna melewati berbagai tantangan ekonomi.
Seperti kata Widodo Setiadharmaji, dampak dari kebijakan tarif impor AS dan proteksi terhadap baja impor berpotensi merugikan industri baja Indonesia. Kebijakan tersebut bisa memaksa negara-negara produsen baja global untuk mengalihkan tujuan ekspor mereka dari AS ke pasar lain yang lebih terbuka, termasuk Indonesia. Potensi banjir produk impor ini dapat menciptakan kelebihan pasokan di pasar lokal, yang ujung-ujungnya memicu perang harga tidak sehat.
“Produsen dalam negeri sangat berisiko tertekan, bahkan bisa terpaksa menjual produk di bawah biaya produksi jika tidak ada kebijakan perlindungan yang memadai,” jelas Widodo Setiadharmaji.
Menghadapi situasi ini, Widodo Setiadharmaji mendesak pemerintah dan pelaku industri untuk mengambil langkah-langkah strategis dan terkoordinasi. Ia mengusulkan tiga langkah utama, yaitu:
· Pertama, memperkuat benteng pertahanan pasar domestik menjadi sebuah keharusan. Penggunaan instrumen safeguard, antidumping, dan bea imbalan perlu dioptimalkan untuk melindungi industri nasional dari gelombang impor.
· Kedua, diversifikasi pasar ekspor ke kawasan non-tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan menjadi kunci untuk menjaga volume ekspor di tengah ketatnya persaingan.
· Ketiga, upaya negosiasi diplomatik untuk mendapatkan kuota tarif khusus dari AS, seperti yang berhasil diperoleh Jepang dan Korea Selatan, perlu terus diperjuangkan. Melalui skema ini, sejumlah volume ekspor baja Indonesia bisa masuk ke pasar AS dengan tarif yang lebih ringan. (*)
Editor : Red