![]() |
Ilustrasi. (Foto : dok/Jamal/ist) |
Oleh: Jamal, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan
SMSNEWS.id | Batam - Di pelosok batam, dua tubuh mungil bernama Firdaus dan Rabiah menjalani hidup yang telah dihancurkan sejak mereka ingin tumbuh. Firdaus berdiri di persimpangan memegang botol berisi kerikil, bukan hanya untuk menghibur, ia ingin dunia sadar, masa kecilnya penuh air mata. Di sisi lain kota, gadis 13 tahun bernama Rabiah belajar membaca dari koran dan sampah bekas. Dibalik bacaan tersimpan harapan: ingin bersekolah seperti anak gadis lainnya.
Keduanya hidup tanpa kasih sayang kedua orang tua, tanpa ada bisikan kecil yang berkata "aku sayang kamu nak." Mereka dicap sebagai anak nakal jalanan tanpa masa depan oleh kehidupan sosial. Padahal hanya butuh satu hal untuk merubah keadaan mereka. Cinta. ya, hanya cinta terhadap sesama kehidupan anak bangsa lah keadaan bisa dirubah. Cinta dari masyarakat, cinta pemerintah terhadap rakyat, cinta manusia terhadap manusia.
Anak jalanan bukan sekedar angka dalam data statistik. Mereka punya jiwa, rasa, dan air mata. Di balik permasalahan sosial kehidupan jalanan batam, dua tubuh kecil berjuang dalam dinginnya malam. Dua jiwa kecil ini, bukan sekedar angka dari mereka yang tak bersekolah. Mereka adalah anak-anak yang dilahirkan tanpa kasih sayang masa kecil. Dipaksa tumbuh dengan beban berat yang dipikul.
![]() |
Ilustrasi. (Foto : dok/Jamal/ist) |
Firdaus, anak kecil berusia tujuh tahun. Masa kecil layaknya kertas kusam. Pasar tua terbengkalai merupakan tempat ia bisa pulang, sekedar untuk beristirahat bersama neneknya. Pasar tua itu tempat satu-satunya ia bisa pulang, walau sebuah pasar tetap tak layak di sebut tempat tinggal.
“Nama Ibuku Rani, aku tak tau wajah Ayahku. Mereka sudah cerai,” ucapnya sambil menahan air mata, tatapannya kosong menembus gedung pasar terbengkalai. Ia mengaku tak bisa membaca, karena tak sekolah dan tak ada yang mengajarkan. dan yang terburuk: tak mengenal kasih sayang keluarga.
Soal ayahnya? Hanya kenangan yang perlahan menghilang layaknya kabut saat menyambut fajar. Tapi Firdaus mengerti satu hal: ia rindu pelukan Ayah, rindu pada cinta seorang Ibu. Ia ingin merasakan kasih dalam lingkaran cinta ayah dan ibu.
![]() |
Ilustrasi. (Foto : dok/Jamal/ist) |
Firdaus tumbuh dengan beban yang belum tentu kuat dipikul orang dewasa. Mulai jam 8 pagi ia harus berdiri di persimpangan lampu merah sambil memegang botol berisi kerikil selama 14 jam. Ia bernyanyi seadanya agar dunia melihat, anak kecil telah kehilangan masa kecil.
"Suara ku tak terlalu bagus, tapi aku tetap bernyanyi, ini keterpaksaan supaya nenek tak marah" ujarnya.
Bukan cuma keterpaksaan fisik yang ia harus korbankan. Tapi mental dan cinta telah hilang akibat tindakan orang dewasa. Di pasar terbengkalai yang dianggap rumah, ia kerap menjadi objek kemarahan nenek, pukulan pakai hanger atau kayu, lumrah didapatkan setiap hari. Di persimpangan jalan kota batam tempat ia berdiri. jika tak dapat uang, ia akan dapat hukuman.
Uang yang ia dapat pun tak banyak, hanya 100 ribu dalam 2 hari, dan harus diserahkan ke nenek. Itu semua ia lakukan untuk bertahan hidup. Setidaknya untuk makan hari ini, dan tak mendapat hukuman.
Kehidupan di jalanan cenderung membuatnya nyaman diluar, bahkan hingga tengah malam. Ia mengaku Neneknya tak mencari, “aku di anggap hilang” katanya. Lingkungan memaksanya menjadi anak nakal dalam kacamata sosial. di satu sisi, Firdaus sudah merokok. Untuk anak usia 7 tahun yang merokok adalah hal biasa bagi anak jalanan. Hal itu dalam kehidupan yang bebas dianggap sebagai tiket untuk dunia yang keras.
Dilain sisi tembok batu aji batam, anak perempuan berumur 13 tahun bernama Rabiah. Belum pernah sekolah. Tapi tak pernah menyerah. Tak ada yang mengajari, ia belajar membaca dari koran bekas, dari bungkus makanan atau apapun yang ia temukan disetiap jalan.
“Aku pengen sekolah kayak orang-orang, aku anak perempuan dan malu hidup di jalanan,” tuturnya penuh luka. Kalimat itu terhenti sejenak dan ia melanjutkan “Akta kelahiran ku dibakar ayah kandung,” ucapnya lirih, sebelum akhirnya air matanya tumpah. Ucapannya begitu dalam, seakan tertahan di kerongkongan. Matanya tajam penuh amarah dan cinta.
Ia mengaku, ayah kandungnya berasal dari jambi atas nama Suherman. Tapi Rabiah tak pernah menganggap ayahnya ada. Ini semua ia lakukan karena kekecewaan terhadap ayah yang tak pernah hadir dalam hangatnya jiwa Rabiah, bahkan Rabiah pun tak pernah diakui sebagai anak kandungnya.
Rabiah dibesarkan oleh seorang janda yang merupakan ibu kandungnya. “Kalo kata tetangga mamak udah capek,” ucapnya. Rabiah tak punya teman, bahkan takut mempunyai teman. Status sosial membuatnya tertutup. Bahkan, untuk bermimpi saja ia takut. Hari-harinya dipenuhi air mata, namun ia tutupi dengan membaca berbagai bungkusan atau koran bekas yang ia temui di jalan. Rabiah mengaku, hanya ingin dicintai.
“Kami ada dua bersaudara, adikku dikampung tinggal sama nenek. Aku disini sama mamak, tapi kadang mamak sering pergi. Kadang tak pulang,” ucapnya pelan. Ia tak ingin ucapannya didengar oleh dunia agar tak ada yang tahu ia kesepian.
Kisah yang sama dijalan yang berbeda. Tak saling kenal tapi satu nasib. Hidup tanpa cinta. Firdaus dan Rabiah. Masa kecil yang diharapkan penuh cinta dan kebahagiaan hilang direbut keadaan, dicuri jahatnya lingkungan. Kondisi mereka dibuat seakan bersalah karena perilaku orang dewasa. Rabiah ditelantarkan dalam hening. Firdaus dipaksa dewasa tanpa pilihan.
Mereka adalah wajah Indonesia, dari sebuah sistem yang gagal. Mereka dipandang anak nakal tanpa masa depan. Terlantar dan tak terdidik. Tapi apakah kita melihat luka kecil di tubuh mereka?
Kadang Rabiah menangis, bukan karena kelaparan, tapi karena tak ada tempat mengadu. Firdaus tak pernah tunduk pada dunia, tapi ia takut dilupakan keluarga. Saat ini, yang mereka butuhkan adalah tangan hangat penuh cinta untuk mengangkat mereka dari derasnya air mata kehidupan.
“Kadang aku mimpi ada di sekolah, terus punya temen banyak. Terus aku bisa baca buku,” kata Rabiah. Ia mengucapkannya seperti doa, padahal mungkin ia tahu, dunia tidak mudah memberi ruang untuk doa seperti itu.
Firdaus juga punya mimpi sederhana. Ia berharap suatu hari nanti bisa bertemu ayahnya. “Kalau nanti aku bisa ketemu ayah... aku cuma mau peluk,” harapnya dengan air mata. Hanya itu. Bukan uang atau rumah tingkat. Hanya pelukan hangat, sesuatu yang sederhana, tapi tak pernah ia capai.
Firdaus dan Rabiah bukan sekadar cerita. Mereka adalah kaca. Mudah pecah. Kita bisa menolak hanya untuk melihatnya, tapi gagal menghapus jejak mereka. Anak-anak jalanan tidak pernah meminta dilahirkan atau memilih ingin lahir dari rahim yang mana. Anak-anak jalanan bukan lahir dari pilihan, tapi dari keadaan yang memaksakan.
Ketika dunia tidur, mungkin Firdaus masih di jalan, memegang gitar mainan yang senarnya putus, menyanyikan lagu yang tak banyak orang dengar. Sementara Rabiah mungkin masih membuka lembaran kertas yang ia temukan di tong sampah, mengeja huruf satu per satu. Dalam sunyi, mereka masih percaya: mungkin suatu hari akan ada yang mendengar, yang peduli, dan yang datang menyelamatkan. Karena setiap anak, sekeras apapun hidupnya, punya hak yang sama untuk dicintai.
Kisah ini, bukan hanya soal pilu dan air mata anak kecil di lorong kelam kota batam. Tapi soal cinta. Cinta terhadap sesama manusia dan anak bangsa. Firdaus dan Rabiah merupakan korban dari rumah tangga orang dewasa, ini merupakan bentuk kegagalan sistem sosial yang sering membuat masa depan anak-anak kehilangan arah. Negara, masyarakat, maupun lingkungan harus hadir sebagai pelindung. Mereka tumbuh diantara kekayaan para tetangga dan pemerintah. Mereka butuh kepedulian yang nyata: sekolah, rumah, dan pelukan kasih sayang.
Kisah Firdaus dan Rabiah, bukan sekedar cerita yang bisa kita tinggalkan begitu saja setelah membaca. Mereka adalah wajah dari bangsa Indonesia, kota batam khususnya, yang belum menyelesaikan tanggung jawab terhadap anak bangsa.
Jika ingin melihat masa depan yang penuh cinta tanpa ada yang luka, maka tugas kita bukanlah memberi sedekah, tapi memastikan bahwa kehidupan mereka masih terbentang ribuan harapan. Bagi mereka yang terlantar di jalanan, ada tersimpan satu keyakinan: bahwa sesungguhnya, cinta dan pendidikan adalah hak semua anak bangsa.
_Esai ini hasil dari wawancara yang telah di dramatisir. Nama dan tempat disesuaikan agar tampak seperti aslinya_