Surat dari Penjara Malukanesia Surat dari Penjara Malukanesia

Surat dari Penjara Malukanesia

Ilustrasi. (Foto : dok/ist)

_Oleh: Jamal, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan_

SMSNEWS.id | Batam - Untuk angin dunia yang bertiup dari utara, bawalah suara kami menuju keadilan. Untuk awan yang menumpahkan hujan, cucilah luka kami dengan jernih. Untuk ombak yang mendesir di laut Malukanesia, jernihkan lah hati mereka. Untuk tanah tempatku dilahirkan, jemput lah rinduku yang tertinggal.


Aku adalah lelaki tua bernama Ali Mahmud Al Fajr. Orang-orang memanggil ku Ali, berasal dari dusun kecil di Negara Fiksi Malukanesia. Umur ku hampir satu abad, tapi semangatku lebih muda dari serdadu. Hatiku lebih suci dari polisi yang menangkap ku. Aku seorang ayah yang dipukul di depan putriku, aku seorang suami yang diborgol di depan istriku. Aku seorang kakek yang diinjak di depan cucuku, Aku penjaga hutan adat yang menjadi tahanan politik negara. 

Saat ini, halaman demi halaman perjalanan ku lewati di balik tembok jeruji besi, dingin dan basah. Dibalik tembok ini tak kudengar lagi suara dedaunan yang jatuh atau nyaring suara tetangga. Hanya tembok putih yang diberi krangkeng, dan cacian aparat. Negara menuduh kami penghambat pembangunan, ibarat rumput yang tumbuh di pekarangan. Kami, dituduh melawan hukum. Padahal kami bukanlah melawan hukum, tapi yang kami lawan adalah ketidakadilan yang menyatu dalam seragam aparat dan kekuasaan. 

Mereka datang mengokang senjata. Ku ingat betul wajah mereka dengan petantang-petenteng memasuki halaman rumah kami. Menendang pintu, menarik semangat tubuh anak-anak muda kami, bahkan menodongkan senjata kedalam sanubari kami “Mundur atau kami tembak” kalimat itu terlontar dari penjaga cukong. Mereka melawan kami dengan senjata padahal kami hanya petani yang memegang cangkul sebagai penopang hidup. Mengangkat air demi menjaga akar yang telah ditanam oleh leluhur kami. 

Dahulu, air sungai di dusun kami ibarat cermin. Airnya memantulkan wajah anakku yang sedang bermain: tersenyum gembira sembari mencipratkan air ke ibunya. Sekarang, air itu berubah menjadi luka. Coklat dan berlumpur. 

Kami tak begitu memahami bahasa mereka “Tambang milik negara,” “Pengelolaan alam,” dan “Pembangunan salinan nasional disingkat PSN”. Kami hanya memahami satu hal: hutan kami menangis ketika mesin gergaji itu datang. 

Air sungai yang kami manfaatkan, biasanya langsung kami minum. Namun saat ini semua berubah layaknya kubangan lumpur. “Bapak, kok airnya coklat?,” pertanyaan terlontar dari anakku, aku tak mampu menjawab. Hatiku remuk. Mataku mengeluarkan butiran. 

Kami memutuskan untuk berbicara, aku bersama kepala dusun mengumpulkan warga untuk datang ke balai desa, tak kami sangka disana sudah ada polisi dan tentara. Kami pun berdiri di hadapan mereka dan berkata: “Hutan ini ditanam oleh nenek moyang kami demi keberlangsungan hidup generasi, setiap air yang mengalir di hutan ini adalah darah moyang kami yang menyatu dengan darah kami. Ini demi keberlangsungan alam. Hutan ini telah diwariskan kepada kami, selanjutnya kami akan mewariskan kepada anak cucu kami. Jangan kalian rampas”.

Kalimat itu berhenti sebelum kami menyelesaikannya. Negara membungkam rakyat nya. Malam itu aku bersama lainnya ditangkap, di interogasi, dipukul, bahkan kami dituduh makar. Kami bahkan di paksa tes urin seakan-akan kami adalah pengedar narkoba dari belahan dunia lain. Padahal kami tinggal di sebuah dusun kecil dalam hutan.

Negara menganggap kami mengganggu ketertiban. Padahal mereka mengacak-acak alam dan hutan kami.

Saat ini, malam seperti tak pernah usai. Dalam ruangan dan lorong gelap, tak pernah kutemukan bintang maupun bulan. Aku hanya bisa menulis menggunakan cahaya yang ku ambil dari dalam dada putriku, dari terangnya pelukan hangat istriku. 

Di dalam ruangan dingin ini, waktu begitu membeku, namun imajinasi ku terus berputar layaknya fatamorgana. Suatu waktu aku melihat senyum istriku, diwaktu yang hampir bersamaan ku dengar suara cucuku. Kadang kala aku mendengar panggilan dari anakku: “Bapa, bapa kapan pulang” Semua itu menyatu dalam pikiran, menusuk-nusuk dadaku lebih tajam dari peluru. 

Negara mungkin mengira, jika mereka menahan wujud kami dalam penjara, maka suara kami akan hilang. Tapi mereka melupakan hal yang lain, suara kami telah menjelma, menjadi badai, menjadi surat kabar, menjadi teriakan di persimpangan, menjadi bahan diskusi di setiap jeritan aktivis. Kami percaya, bahwa berbagai solidaritas akan muncul: membuat spanduk, tulisan, coretan di dinding, membuat puisi, orasi dan mengirim doa.

Di sini pun kami menulis. Di atas kertas usang yang mulai menguning, di atas tanah Malukanesia menggunakan arang, dengan darah sebagai tinta. Kami menulis tangisan sekaligus jeritan yang akan menjadi sejarah. Walaupun para serdadu itu menodongkan senjata ke dadaku, aku akan menentangnya dengan kata-kata: “Tariklah pelatuknya, bunuh lah tubuh rentan ini. Kalian akan dengan mudah menumbangkannya, tapi tidak pada akar yang menjadikan kami sebagai hutan yang telah tumbuh ribuan tahun”.

Bahkan bukan hanya sekali kami dikhianati oleh negara, jauh sebelum ini mereka menjanjikan kami berbagai hal. Perbaikan jalan desa, akses listrik, sekolah, rumah sakit. Tapi ternyata itu semua diplomasi politik yang retorik. Mereka datang membawa buldoser perusak tanah dan gergaji penumbang pohon. Mereka menancap beton di makam nenek moyang kami, membanjiri sawah kami demi pabrik tambang.

Kami tak mau, dan tak akan diam. Kami dilahirkan dari rahim para pemberontak. Kami keturunan pohon yang menjulang ke langit, kami kuat menahan badai. Ketika tanah dirampas dan dituduh subversif, kami melawan. Kami mengadvokasi massa, mengorganisir dan mendedikasikan diri kami dalam tenda perjuangan. Kami menggalang solidaritas.

Namun, perjuangan keras yang kami lakukan tanpa senjata dibalas dengan borgol dan gas air mata. Serdadu itu memang tak punya hati, mereka mengikuti perintah atasan. Kami dipenjara.

Suara anak ku keluar dari dalam surat: “Bapak, kapan pulang?”. Tak mampu ku menahan air mata. Kerinduan terhadap anakku begitu dalam, aku bingung dan bimbang, entah apa yang harus ku jawab. Tapi aku ingin dia mengerti: aku sedang menjaga masa depannya.

Keberanian kami dalam melawan bukan berarti kami tangguh. Tapi karena kami tak ada pilihan lain selain melawan. Karena jika kami memilih diam untuk ketidakadilan, anak-anak kami akan dilahirkan di atas tanah yang kering tanpa hutan dan cadangan air, tanpa harapan dan masa depan. Maka lebih baik kami yang dikubur bersama jiwa ini, tapi terang jalan anak cucu generasi.

Mereka (negara dan kroninya) lah pengkhianat, bukan kami. Mereka yang menjual hutan kepada para cukong dan merampas tanah anak bangsa. Kami berteriak bukan untuk mendapat jabatan, kami memberontak bukan untuk mendirikan negara sendiri, kami melakukan perlawanan karena cinta, cinta dengan keadilan, kepada istri dan anak kami yang tak berdosa, kepada tanah dan hutan leluhur kami.

Kepada semua solidaritas yang berdiri di persimpangan sambil membacakan syair perlawanan. Kami peluk kalian dengan cinta dari dalam penjara. Kalian adalah nyala lilin di dalam lorong gelap, air ditengah terik.

Kami ingin kalian mengetahui satu hal: kami masih bernapas walau dalam penjara. Kami selalu berdoa dan akan terus percaya. Mungkin saat ini kami tak dapat menyentuh tanah yang lembab dan sejuk, atau menebang pohon untuk cari kayu bakar di saat menggelar resepsi pernikahan. Tapi kami tahu, hutan tidak akan pernah hilang. Hutan selalu hidup di dalam jiwa dan hati manusia yang peduli pada lingkungan.

Penjaga hutan adat yang baru akan muncul, dan kalian yang akan menjelma menjadi akar pohon yang baru. Akan menancap kuat ke tanah membelah batu ketidakadilan. Setiap syair, puisi, orasi dan poster kalian lakukan, akan menjadi senjata yang dapat menembus jantung kekuasaan. Lebih tajam dari peluru.

Dan, melalui tulisan ini kami bersumpah: jika suatu saat cahaya kemerdekaan itu datang kepada diri kami. Kami akan kembali berdiri ditengah hutan, di atas pantai, di atas batu yang dialiri sungai. Kami akan terus menjaga alam kami demi kehidupan.

Inilah catatan kami, 11 tahanan politik dari penjara Malukanesia yang ditulis pada, 11 Februari 2045 untuk dunia. Melalui surat, atau catatan, atau tulisan, atau apapun itu, kami menunjukkan kepada dunia, bahwa kami bukan pelaku tindak pidana. Kami hanyalah seorang ayah, seorang anak, seorang suami, seorang petani, seorang kakek, penjaga hutan adat. Tidak banyak yang kami inginkan: menanam, memanen, dan mencintai. Menikmati hidup seperti biasanya, berkumpul dengan keluarga dikala petang setelah berkebun, adalah kerinduan kami saat ini.

Negara memang suka begitu, membangun tapi merampas tanah, melindungi tapi merusak hutan dan merampas sungai. Tapi satu hal mereka tak bisa lakukan. Merampas cinta. Keberanian kami telah matang. Solidaritas kami semakin terikat dan tak akan putus oleh kekuasaan.

Walaupun surat ini ku tulis di bilik penjara besi, aku yakin, suatu saat nanti, anak ku akan melihat dan membacanya. Dia akan mengetahui bahwa, bapaknya pernah melawan ketidakadilan, bapaknya pernah berjuang melindungi hutan adat. Dia akan memahami bahwa bapaknya akan memperjuangkan segala hal demi keberlangsungan kampungnya, walaupun di borgol.

Aku adalah Ali Mahmud al Fajr, orang tua dari dusun kecil di bawah kaki gunung. Usiaku mungkin sebentar lagi. Tapi suara ini, suara kami akan terus menancap didalam jantung. Seperti akar yang diam-diam menghancurkan batu.

Dan selama langit belum runtuh, kami akan terus melawan untuk keadilan. “Jika 10 tahun lagi aku bebas, aku akan tetap berdiri berlawanan dengan negara demi mempertahankan hutan dan tanah air kami.”
Lebih baru Lebih lama