Menembus Jebakan Pendapatan Menengah: Pandangan Seorang Anggota DPRD Kota Batam untuk Indonesia Emas 2045 Menembus Jebakan Pendapatan Menengah: Pandangan Seorang Anggota DPRD Kota Batam untuk Indonesia Emas 2045

Menembus Jebakan Pendapatan Menengah: Pandangan Seorang Anggota DPRD Kota Batam untuk Indonesia Emas 2045

Gabriel Anggito Sianturi. (Foto : dok/ist)

Oleh: Gabriel Anggito Sianturi | Anggota DPRD Kota Batam

Sebuah Persimpangan Sejarah Ekonomi

SMSNEWS.id | Batam - Indonesia sedang berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, kita memiliki peluang besar untuk menjadi negara maju pada tahun 2045, momen seratus tahun kemerdekaan yang dikenal dengan “Visi Indonesia Emas 2045”. Namun di sisi lain, terdapat risiko nyata yang mengintai: Middle Income Trap (MIT) atau jebakan pendapatan menengah.

MIT bukanlah sekadar istilah akademik. Ia adalah kenyataan ekonomi yang telah menjerat banyak negara berkembang di dunia. Negara-negara tersebut berhasil keluar dari status berpendapatan rendah, namun kemudian kehilangan momentum pertumbuhan, stagnan di tingkat menengah, dan gagal melangkah ke kelas negara maju. Fenomena ini terjadi karena struktur ekonomi yang tidak berubah, produktivitas yang tidak meningkat, serta kebijakan pembangunan yang tidak bertransformasi.

Indonesia kini berada di tahap Upper Middle Income Country, dengan pendapatan nasional bruto per kapita sekitar USD 5.200 pada 2024. Namun, untuk mencapai status negara maju, Bank Dunia mensyaratkan ambang lebih dari USD 13.800 per kapita. Artinya, kita harus melipatgandakan pendapatan nasional dalam waktu dua dekade. Sebuah tugas yang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin, asalkan kita memahami akar masalah MIT dan memiliki strategi yang jelas serta konsisten.

Salah satu gejala utama MIT adalah ketika suatu negara kehilangan daya saing sebagai produsen barang murah, tetapi juga belum mampu beralih menjadi produsen barang bernilai tinggi. Di fase awal industrialisasi, Indonesia seperti halnya Vietnam, Bangladesh, dan Kamboja; mengandalkan tenaga kerja berupah rendah sebagai daya tarik investasi. Namun, seiring meningkatnya pendapatan dan biaya tenaga kerja, keunggulan ini menurun.

Contoh nyata terlihat pada industri garmen dan sepatu. Dulu, Indonesia menjadi basis utama produksi Nike, Adidas, dan berbagai merek global. Kini sebagian produksi telah pindah ke negara dengan upah lebih murah seperti Myanmar dan Kamboja. Sementara itu, Indonesia belum cukup cepat membangun industri yang lebih kompleks seperti elektronik, bioteknologi, atau otomotif listrik. Akibatnya, kita terjebak di tengah: tidak cukup murah untuk bersaing di sektor padat karya, dan belum cukup maju untuk bersaing di sektor padat teknologi.

Masalah kedua adalah ketertinggalan dalam inovasi dan teknologi. Negara-negara yang berhasil keluar dari MIT, seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura melakukan transformasi besar-besaran di bidang riset, pendidikan, dan inovasi. Mereka tidak hanya memproduksi barang, tetapi juga menciptakan merek dan teknologi sendiri.

Indonesia masih tertinggal jauh. Belanja riset dan pengembangan (R&D) kita hanya sekitar 0,3% dari PDB, jauh di bawah Korea Selatan (lebih dari 4%) atau Malaysia (sekitar 1,3%). Akibatnya, produktivitas tenaga kerja dan daya saing industri nasional masih rendah. Inovasi masih terbatas, terutama di sektor publik. Kita masih mengimpor banyak produk berteknologi tinggi: dari mesin industri, semikonduktor, hingga obat-obatan.

Kedua krisis ini menunjukkan bahwa MIT bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga masalah struktur, pendidikan, dan tata kelola. Bila tidak segera diatasi, Indonesia bisa terjebak dalam stagnasi ekonomi berkepanjangan.

Indikator Bahwa Indonesia Sudah Mendekati Jebakan Pendapatan Menengah

Sejak 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stabil di kisaran 5% per tahun. Angka ini memang positif, namun belum cukup untuk mendorong lonjakan pendapatan. Berdasarkan berbagai studi, untuk bisa mencapai status negara maju pada 2045, Indonesia harus menjaga pertumbuhan rata-rata di atas 6,5–7% selama 20 tahun ke depan. 

Pertumbuhan 5% mencerminkan ekonomi yang relatif sehat, tetapi tidak cukup dinamis. Apalagi jika dibandingkan dengan fase awal industrialisasi Korea Selatan (tahun 1970-an) atau China (tahun 1990-an) yang rata-rata tumbuh 8–10% per tahun. Dengan laju pertumbuhan yang moderat, Indonesia bisa “nyaman di tengah jalan” dan kehilangan momentum untuk menembus batas negara maju.

Indikator paling jelas dari MIT di Indonesia adalah deindustrialisasi dini (premature deindustrialization). Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB menurun dari sekitar 27% pada 2002 menjadi hanya sekitar 18% pada 2022. Padahal, negara-negara maju biasanya mengalami penurunan kontribusi manufaktur setelah mereka mencapai pendapatan tinggi, bukan saat masih menengah.

Sektor industri pengolahan seharusnya menjadi mesin pertumbuhan utama karena memiliki efek pengganda besar: menciptakan lapangan kerja berkualitas, mendorong ekspor, dan meningkatkan produktivitas. Namun, sektor ini kini kalah cepat berkembang dibanding sektor jasa non-tradable seperti transportasi, komunikasi, dan perdagangan.

Kondisi ini berisiko karena industri non-tradable tidak menghasilkan devisa dan produktivitasnya cenderung rendah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi kita bersifat “dangkal” dan mudah melambat ketika permintaan domestik turun.

Kualitas SDM merupakan kunci transformasi ekonomi. Indonesia memang tengah menikmati bonus demografi, di mana penduduk usia produktif (15–64 tahun) mencapai lebih dari 65% total populasi. Namun, bonus ini bisa berubah menjadi “bencana demografi” jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan produktivitas.

Data menunjukkan bahwa skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia masih jauh di bawah rata-rata OECD. Produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya sekitar 20% dari Korea Selatan dan 35% dari Malaysia. Ini menunjukkan bahwa kita masih tertinggal dalam keterampilan teknis, literasi digital, dan inovasi.

Selain itu, ketimpangan antara pendidikan formal dan kebutuhan industri masih lebar. Banyak lulusan tidak terserap pasar kerja karena skill mismatch. Di Batam, misalnya, industri membutuhkan tenaga teknik dan operator berkemampuan tinggi, tetapi lembaga pelatihan vokasi belum mampu memenuhi standar industri global.

Struktur ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas seperti batu bara, nikel, kelapa sawit, dan gas alam. Ketergantungan ini membuat ekonomi sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. Ketika harga komoditas naik, ekonomi tumbuh cepat; ketika turun, pertumbuhan melemah.

Sementara itu, sektor non-tradable seperti ritel, transportasi, dan konstruksi tumbuh pesat tetapi tidak menghasilkan nilai tambah tinggi. Kombinasi ini menciptakan pertumbuhan yang rapuh dan tidak berkelanjutan, ciri khas negara yang terjebak MIT.

Strategi Keluar dari Middle Income Trap

Untuk melompat ke kategori negara maju, Indonesia memerlukan transformasi struktural. Artinya, ekonomi harus bergeser dari padat sumber daya menuju padat pengetahuan. Ada beberapa strategi utama. Seperti hilirisasi. 

Hilirisasi merupakan langkah penting untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Pemerintah telah memulai kebijakan ini melalui larangan ekspor bahan mentah seperti nikel dan bauksit. Tujuannya agar bahan mentah diolah di dalam negeri menjadi produk setengah jadi atau jadi, misalnya menjadi baja tahan karat atau komponen baterai listrik.

Namun, hilirisasi tidak boleh berhenti di tahap smelter. Tantangan berikutnya adalah menciptakan industri turunan berteknologi tinggi. Misalnya, dari nikel bukan hanya menjadi bahan baku baterai, tetapi juga menjadi industri kendaraan listrik, semikonduktor, atau teknologi energi baru. Untuk itu dibutuhkan investasi besar di bidang R&D, infrastruktur energi, dan sumber daya manusia teknik.

Khusus di Batam, potensi hilirisasi ini sangat besar. Kawasan ini telah lama menjadi pusat manufaktur elektronik dan logistik internasional. Dengan insentif fiskal dan kedekatan dengan Singapura, Batam dapat dikembangkan menjadi hub teknologi dan manufaktur canggih. Tapi itu membutuhkan komitmen kuat pemerintah daerah dalam penyediaan infrastruktur dan peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal.

Selain itu, kelas menengah merupakan motor konsumsi yang menopang sekitar 60% PDB nasional. Namun, kelas ini juga paling sensitif terhadap kebijakan fiskal dan inflasi. Kenaikan tarif PPN atau harga energi dapat langsung menekan daya beli mereka, yang berujung pada melambatnya konsumsi domestik.

Karena itu, penyesuaian kebijakan PPN menjadi sangat penting. Penurunan tarif PPN akan menurunkan harga barang dan jasa, meningkatkan pendapatan riil, dan merangsang konsumsi. Meskipun penerimaan pajak jangka pendek menurun, efek penggandanya terhadap pertumbuhan ekonomi justru bisa menambah penerimaan negara dalam jangka menengah.

Selain itu, subsidi terarah kepada sektor produktif dan kelompok rentan kelas menengah dapat menjaga daya beli dan stabilitas ekonomi. Misalnya, subsidi transportasi umum, bantuan pendidikan vokasi, atau insentif bagi UMKM digital.

Dari perspektif DPRD, kebijakan ini penting untuk dijaga keseimbangannya. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa penurunan PPN dan subsidi benar-benar sampai ke masyarakat, bukan hanya menguntungkan pelaku usaha besar. Transparansi dan pengawasan fiskal menjadi kunci agar kebijakan pro-rakyat benar-benar efektif.

Salah satu strategi percepatan pembangunan yang terbukti efektif adalah melalui pembentukan kawasan industri khusus atau KEK. Di kawasan ini, berbagai fasilitas fiskal (pembebasan pajak, kemudahan impor-ekspor) dan non-fiskal (pelayanan terpadu, kemudahan izin) diberikan untuk menarik investasi domestik dan asing.

Prinsipnya sederhana: ekonomi aglomerasi. Ketika aktivitas industri terkonsentrasi dalam satu kawasan, maka biaya logistik turun, inovasi meningkat, dan transfer teknologi menjadi lebih cepat. Contohnya, KEK Batam Aero Technic (MRO) dan Nongsa Digital Park telah menarik investasi besar serta membuka ribuan lapangan kerja.

Namun, konsentrasi pembangunan juga membawa tantangan. Jika terlalu terpusat di wilayah tertentu, maka ketimpangan antar daerah dapat melebar. Daerah non-KEK bisa tertinggal dari segi infrastruktur dan SDM. Oleh karena itu, pemerintah harus menyeimbangkan strategi konsentrasi (growth pole) dengan pemerataan (spread effect).

Batam dapat menjadi model pembangunan seimbang: daerah industri yang maju, tetapi tetap memperhatikan pemerataan pendapatan, lingkungan, dan keterlibatan masyarakat lokal.

Kehadiran KEK kadang menciptakan ketegangan dengan semangat otonomi daerah (UU Otoda). KEK memiliki regulasi khusus yang seringkali mengesampingkan kewenangan daerah dalam hal perizinan dan pajak. Hal ini menimbulkan dilema: di satu sisi, KEK dibutuhkan untuk efisiensi dan menarik investasi; di sisi lain, daerah merasa kehilangan kewenangan dan potensi pendapatan asli daerah (PAD).

Sebagai anggota DPRD, saya melihat pentingnya keseimbangan. Pemerintah daerah tidak boleh sekadar menjadi penonton. Harus ada mekanisme kolaboratif antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan KEK. Misalnya, sebagian insentif fiskal bisa dialokasikan untuk pengembangan SDM lokal dan infrastruktur publik di sekitar kawasan. Dengan demikian, manfaat KEK tidak hanya dirasakan investor, tetapi juga masyarakat sekitar.

Selain itu, DPRD harus berperan aktif dalam pengawasan sosial dan lingkungan. Pertumbuhan industri tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan atau menimbulkan kesenjangan sosial baru. Prinsip pembangunan berkelanjutan harus menjadi pijakan utama dalam setiap perencanaan.

Tidak ada strategi yang lebih penting dari peningkatan kualitas sumber daya manusia. Jepang, Korea, dan Singapura berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah karena investasi besar di bidang pendidikan, riset, dan keterampilan teknis.

Indonesia harus menempuh jalan yang sama. Anggaran pendidikan 20% APBN harus benar-benar diarahkan untuk relevansi dan kualitas, bukan sekadar kuantitas. Pendidikan vokasi harus diperkuat dan disesuaikan dengan kebutuhan industri. Program link and match antara kampus, balai latihan kerja, dan dunia industri harus berjalan nyata.

Khusus di Batam, pemerintah daerah bersama industri dapat mengembangkan Batam Tech Institute atau lembaga pelatihan berbasis teknologi industri 4.0. Dengan SDM unggul, Batam bisa menjadi pusat industri modern Asia Tenggara, sekaligus kontribusi nyata bagi Indonesia untuk keluar dari MIT.

Kelas Menengah Sebagai Pilar Transformasi Ekonomi

Kelas menengah bukan hanya motor konsumsi, tetapi juga penopang stabilitas sosial dan politik. Ketika kelas menengah tumbuh, mereka menciptakan permintaan baru terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan, dan inovasi. Namun, bila mereka stagnan atau tertekan inflasi, roda ekonomi nasional ikut melambat.

Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, kelas menengah Indonesia menghadapi tekanan berat. Kenaikan biaya hidup, kenaikan PPN, dan ketidakpastian pekerjaan pasca pandemi menyebabkan daya beli mereka melemah. Banyak dari mereka terpaksa menunda konsumsi besar seperti properti, pendidikan, atau kendaraan.

Oleh karena itu, kebijakan fiskal harus berpihak pada kelas menengah produktif. Penurunan PPN, insentif pendidikan, dan subsidi tepat sasaran akan memperkuat daya beli mereka. Bila konsumsi meningkat, dunia usaha terdorong untuk menambah investasi dan produksi. Efek domino ini akan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.

Meski strategi sudah jelas, pelaksanaannya sering tersendat di lapangan. Ada beberapa tantangan mendasar yang perlu diperhatikan:

1. Birokrasi yang masih lambat dan tumpang tindih regulasi. 

Investor kerap menghadapi perizinan panjang dan aturan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah. Reformasi birokrasi harus terus diperkuat.

2. Ketimpangan antarwilayah.

Pembangunan ekonomi yang terfokus di Pulau Jawa dan beberapa KEK besar menyebabkan ketimpangan dengan wilayah timur. Diperlukan kebijakan afirmatif untuk mempercepat pembangunan di luar Jawa.

3. Keterbatasan infrastruktur dasar.

Akses listrik, pelabuhan, dan logistik di beberapa daerah masih lemah, sehingga biaya produksi tinggi.

4. Kapasitas fiskal daerah. 

Banyak daerah belum memiliki PAD yang cukup untuk mendukung program pengembangan SDM dan industri.

5. Komitmen politik.

Tanpa kepemimpinan dan konsistensi lintas pemerintahan, strategi keluar dari MIT akan berhenti di tataran wacana.

Sebagai anggota DPRD, kami memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap kebijakan nasional dapat diterjemahkan dalam rencana kerja daerah yang konkret. Fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan harus diarahkan pada upaya meningkatkan produktivitas daerah, memperkuat sektor industri, dan menyejahterakan rakyat.

Kota Batam adalah cermin miniatur dari cita-cita Indonesia maju. Letaknya strategis di jalur pelayaran internasional, dekat dengan Singapura, memiliki kawasan industri modern, dan sumber daya manusia yang dinamis. Namun, tantangan Batam juga merefleksikan tantangan nasional: ketimpangan antara sektor industri dan masyarakat lokal, kebutuhan SDM terampil, serta keberlanjutan lingkungan. Jika Batam berhasil mengatasi tantangan itu, maka Batam bisa menjadi laboratorium kebijakan nasional untuk keluar dari MIT.

Melalui KEK Digital, Batam bisa memimpin ekonomi berbasis pengetahuan. Melalui MRO dan industri logistik, Batam bisa menjadi pusat rantai pasok regional. Melalui kolaborasi pendidikan industri, Batam bisa menghasilkan tenaga kerja berkelas global. Inilah arah pembangunan daerah yang selaras dengan visi nasional.

Lebih baru Lebih lama